Laman

Kamis, 06 Januari 2011

PENCINCANGAN PERTUNJUKAN


Philip Yampolsky

Sesuai dengan definisinya, sastra lisan hanya terdapat dalam pertunjukan.Kalau sastra lisan sampai kepenggemarnya lewat tulisan dan bukan pertunjukan, bukan lisan lagi. Jadi pertunjukan boleh dikatakan medium sastra lisan. ­Tentu saja beberapa kesenian lain juga mengandalkan medium pertunjukan kita semua tahu bahwa suatu pertunjukan bisa melibatkan  banyak jenis kesenian sekaligus nyanyian, musik instrumental, tari, teater, puisi lisan, cerita lisan, kostum, lukisan, seni ukir, desain ruang, dan desain cahaya. Lagi pula, suatu suatu pertunjukan sering menyangkut unsur yang bukan kesenian. Kadang-kadang ada unsur ritual. Selalu ada unsur manusia, yaitu pengikut serta : pemain, penonton, dan sponsor. Dan suatu pertunjukan selalu berlangsung dalam konteks sosial yang merupakan sumber dan landasan maksud dan makna.
Artinya sebuah pertunjukan untuk pengikut-sertanya tumbuh dari interaksi semua unsur dalam pertunjukan tersebut-semua jenis kesenian, pengikut-serLa sendiri, dan konteks sosial. Cerita matinya menak Jinggo, raja Blambangan, mempunyai arti yang sangat berbeda untuk penonton dari kalangan Istana mangkunegara dan penonton dari bekas kerajaan Blambangan. Tari bedhaya yang ditarikan di dalam keraton oleh para putri ningrat untuk penonton yang juga ningrat, ain artinya dengan bedhaya yang ditarikan di STSI Surakarta oleh mahasiswi, dan lain lagi kalau ditarikan untuk turis. Jaipongan yang diadakan diterminal bus pada jam larut malam lain sekali artinya dengan jaipongan yang dipentaskan oleh anak-anak SMP untuk merayakan Hari Kartini. Akhir-akhir ini, beberapa peneliti teater Eropa mulai mendalami topik ini - ternyata dalam abad ketujuhbelas, waktu Shakespeare dan
Moliere rnasih hidup. Karya-karyanya dipentaskan kadang-kadang untuk penonton bangsawan dan kadang-kadang untuk penonton rakyat. Sekarang timbul hipotesa bahwa satu karya ditafsirkan dengan cara yang bertentangan oleh kedua golongan ini.
Pendeknya, pertunjukan merupakan kejadian yang multi dimensional, terdiri dari unsur bermacam-macam, dan semua unsur saling berkaitan. Tetapi penelitian atau pengamatan ilmiah jarang sekali melihat pertunjukan sebagai sesuatu yang utuh. Kita sebagai peneliti mengalami tekanan yang kuat agar pertunjukan dipersempit, dibagi-bagi, dicincang.
Tekanan ini sebenarnya terasa dalam dua bentuk :
(1) Kita ditekan supaya tidak melihat pertunjukan sebagai keutuhan, melainkan hanya memperhatikan unsur yang merupakan pokok bidang kita. Seorang musikolog mencopot musiknya dari pertunjukan ; seorang peneliti sastra mencabut puisi astau cerita; seorang peneliti tari memetik tariannya saja.
Tekanan ini berasal dari pendidikan disipliner kita. Seorang musikolog misalnya harus belajar bertahun-tahun untuk menguasai  teknik dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk analisa musik. Dari mana dia akan dapat waktu dan tenaga mempelajari juga teknik dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk analisa sastra atau tari atau etnografi?
Lalu, oleh karena kita tidak belajar disiplin-disiplin lain, pembicaraan atau discourse disipliner kita tidak melibatkan disiplin-disiplin lain itu. Kalau kita menulis artikel atau makalah, yang diharapkan ofeh kolega-kolega kita adalah informasi yang sesuai dengan disiplin kita. Kalau saya mampu memberikan makalah ilmiah tentang struktur dalam puisi nyanyian Bugis, misalnya, kolega-kolega saya dari bidang musikologi tidak akan mau dengar. "Bagaimana dengan tangga nada?" mereka akan teriak, sambil melemparkan batu. "lnstrumennya apa? Berapa lebar resonator?"
2)    Tekanan  untuk mencincang pertunjukan terasa  dalam bentuk kedua sebagai tekanan supaya pertunjukan diwujudkan kembali sebagai text. Tekanan ini berasal dari kenyataan bahwa medium kita untuk menampilkan dan menyebarkan informasi bukan pertunjukan tetapi tulisan. menurunkan pertunjukan sebagai text hampir selalu berarti bahwa kita meniadakan atau menyepelekan unsur-unsur dalam pertunjukan yang sulit atau repot atau mahal dimasukkan dalam bentuk tertulis misalnya, logat atau lafal si pencerita atau penyanyi atau warna suara vokal dan instrumen ; atau detail-detail kecil ritem dan intonasi. Hal hal semacam ini sangat sulit dilaporkan dengan kata-kata, bahkan sering tidak ada istilah-istilah yang bisa digunakan. Jadi pada umumnya kita mengabaikannya. Dan sekarang kita begitu terbiasa dengan cara itu bahwa hal-hal seperti logat atau warna suara sering dianggap tidak penting. Tapi apa benar? Untuk penonton yang tahu, logat si pencerita langsung menyampaikan informasi mengenai konteks sosial dan konteks geografis pertunjukan yang ditonton. Dan warna suara dan detail-detail tadi barangkali merupakan kunci yang paling khas untuk membedakan seorang pemain musik dari pemain yang lain.
Memaksa  pertunjukan menjadi text juga biasanya menutup pengertian kita terhadap satu unsur yang sangat pentirig, yaitu kelonggaran dan kebebasan yang dialami oleh seniman dalam pertunjukannya. Kelonggaran ini yang menimbul variasi atau perbedaan antara dua pertunjukan atau ulangan dari kaya yang sama.Tetapi kebiasaan menulis dan membaca -dan tentu juga pertimbangan bisnis.
Penerbitan menuntut satu text, satu versi, bukan banyak versi dari setiap kalimat. Jadi perbedaan yang mungkin saja ditemukan antara dua ulangan  dalam satu pertunjukan, atau dua pertunjukan dari dua daerah – semua variasi ini biasanya didamkan saja, supaya dihasilkan satu text yang gampang dibaca. Tetapi sebenarnya kita tidak dapat mengerti kedudukan satu text tanpa mengerti pilihan-pilihan yang dilakukan oleh si pencipta-jalan-jalan yang sengaja tidak ditempuh, gaya­-gaya yang khas dan jarang terdapat pada pencipta yang lain.
Penutupan pengertian kita terhadap variasi adalah salah satu dari beberapa pengorbanan atau kerugian yang diakibatkan oleh tekanan-tekanan untuk mencincang pertunjukan dan menurunkan pertunjukan menjadi text. Antara pengorbanan lain adalah pengertian kita mengenai interpretasi, atau katakanlah garapan (istilah yang saya pinjam dari karawitan Jawa). Pada kesenian yang sekarang berpedoman text tertulis, seperti teater Barat atau musik klasik Barat, garapan adalah satu-satunya ruang gerak untuk tradisi lisan. Text teater Barat atau komposisi rnusik Barat sudah baku dan tidak bisa diubah. Meskipun demikian, tugas pemain adalah menambahkan sesuatu yang unik - bukan dialog baru atau lagu baru, tetapi pengertian baru terhadap dialog atau lagu yang sudah ada. Pengertian baru ini yang disebut interpretasi atau garapan, dan justru karena di luar text yang baku, biasanya tidak masuk ke dalam diskusi ilmiah mengenai text. Tetapi garapanlah yang membedakan dua realisasi dari satu text, dan bisa dikatakan bahwa garapanlah yang menghidupkan text yang baku.
Ada pengorbanan lain lagi. Kalau kita membatasi perhatian kita kepada satu unsur saja dalam pertunjukan - yaitu unsur keahlian kita kita menutup diri terhadap keterangan yang mungkin diperoleh dari unsur-unsur lain, walaupun kadang-kadang keterangan tersebut bisa membantu kita  untuk lebih mengerti unsur yang menjadi pusat perhatian kita, Saya akan memberikan tiga contoh di sini, diambil dari jenis-jenis sastra nyanyian. Dalam setiap contoh, pengertian kita mengenai sastranya ditingkatkan kalau kita juga memperhatikan musiknya.
Contoh pertama diambil dari Dendang Pauah, suatu kesenian yang terdapat di daerah Minangkabau. Pertunjukan Dendang Pauah berlangsung semalam suntuk.
Cerita dibawakan dalam pantun. Selama pertunjukannya, ada lima lagu vokal  yang  terdengar ; dari kelima itu, empat diiringi oleh sebuah suling. Si penyanyi atau tukang dendang memilih lagu vokal sesuai dengan isi cerita pada saat itu. Untuk menyambut, tamu dan tuan rumah, dipakai lagu Pakok Anam. Untuk menceritakan hal-hal yang netral dari segi emosi, seperti latar belakang cerita, dipakai lagu Pakok Limo. Semua cerita Dendang Pauah akhirnya menjadi sedih, dan lagu-lagu vokal untuk menceritakan kejadian yang mengharukan bertingkat tiga. Ada  Malereng, dimana lagu suling gembira tetapi cerita dan lagu vokal sedih. Ada Malereng lbo (ibo berarti iba), dengan lagu dan cerita yang dua-duanya sedih. Dan ada Lambok malarn, yang menyayat hati tak kepalang. Segitu sedihnya Lambok Malarn sehingga suling terdiam dan vokal berjalan sendiri. Si penyanyi boleh rnemilih antara lagu-lagu vokal tersebut, dan boleh berpindah dari lagu ke lagu sesuai dengan jalan cerita.
Lagu-lagu vokal ini berfungsi struktural seperti adegan dalam teater atau bab dalam novel, menandai tahap atau pembagian dalam cerita. Lagi pu!a, lagu-lagu vokal mengutarakan dan juga menguatkan emosi yang terkandung dalam cerita. Terutama kalau penyanyi berpindah dari lagu yang diiringi suling ke lagu vokal sendiri, Lambok Malam, para penonton bisa hanyut dalam kesedihan, (REKAMAN: Malereng, terus Lambok Malam).
Jadi, kalau kita akan membuat transkripsi text Dendang Pauah tentu saja kita akan mencatat setiap kali lagu vokal berganti, bukan? Tetapi dalam scbuah transkripsi Dendang Pauah yang akhir-akhir ini dibukukan,  tidak ada tanda pergantian iagu. Text mengalir, tanpa pembagian, sepanjang dua ratus halaman, Bukannya penyunting tidak sadar akan lagu-lagu vokal: disebut secara singkat datam sebuah catatan kaki. Tetapi

rupanya, karena terfokus ketat pada komponen sastra penyunting menganggap musiknya tidak penting.
Contoh lagi, sekarang dari cerita Makassar yang juga dibawakan dengan nyanyian, ada dua macam: Sinrillik, yang diiring: geso-geso (sebuah lut gesek mirip rebab), dan cerita-cerita yang diiringi kecaping (sebuah lut petik). Dalam puisi klasik Makassar ada suatu bentuk syair dengan empat baris; bentuk ini disebut Kelong. Dalam kelong, baris pertama dan kedua masing-masing terdiri dari delapan suku kata, baris ketiga, lima suku kata; dan baris keempat, delapan suku kata. Delapan delapan lima delapan. Tetapi dalam kedua jenis cerita nyanyian ini, Sinrilik dan cerita Kecaping, bentuk  kelong klasik jarang ditemukan, bahkan tidak ada bentuk bait atau stanza yang baku. Yang umum adalah puluhan atau ratusan baris, yang kebanyakan terdiri dari delapan atau lima suku kata, tetapi tanpa pola seperti delapan lima delapan. Berapa baris delapan suku kata, lalu berapa baris lima suku kata, diserahkan kepada penyanyi. Di sinilah suaranya, (CONTOH REKAMAN).
           Saya baru saja mengatakan bahwa dalam cerita nyayian ini tidak ada bentuk bait yang baku. Tetapi apakah ini berarti bahwa tidak ada bentuk bait?. Jelas tidak bentuk bait atau stanza ditentukan oleh lagu nyayian. Panjangnya lagu, dan jumlah baris didalamnya, berubah terus – barangkali setiap ulangan lagu berbeda dalam hal-hal itu. Bisa panjang, bisa pendek, sesuka hati sipenyanyi, tetapi jalan lagu dalam garis besar selalu sama.
           Nah, sma halnya dengan Dendang Pauah tadi, akhir-akhir ini ada text sinrilik yang dibukukan yang tidak menghiaraukan musiknya. Text itu disusun seperti prosa, dan soal bentuk puisi tidak disinggung sama sekali. Memang tidak ada pula yang tetap dan mutlak, kaya cap batik, tetapi ini tidak berarti tidak ada bentuk. Bentuknya mengikuti lagu nyanyian.
Kedua contoh tadi menggambarkan keterangan mengenai struktur puisi dan cerita yang bisa diperoleh kalau kita memperluas pandangan kita terhadap pertunjukan supaya mencakup bukan sastra saja tetapi musiknya juga. Sekarang saya ingin memberi contoh yang menggambarkan bukan keterangan mengenai struktur melainkan keterangan mengenai arti atau maksud. Contoh ini diambil sekali lagi dari Minangkabau. Slawat Dulang adalah puisi nyanyian mengenai agama islam. Dari segi musiknya, pertunjukan Salawat Dulang mengikuti suara pola yang tetap. Setiap babak atau tanggak mulai dengan tiga bagian, disebut Khotbah, Lagu Batang, dan Yamolai. Ketiganya kadang-kadang mirip dengan lagu pengajian; syairnya bertemakan agama. Kemudian penyanyi masuk satu bagian yang disebut Lagu Cancang, dimana syairnya tetap bertemakan islam, tetapi lagunya dipinjam dari musik pop atau dangdut. Mari kita dengar contoh dari bagian permulaan (REKAMAN), sekarang, contoh dari bagian lagu cancang, syairnya sebagai kita bisa dengar membicarakan Nabi Muhammad. Tetapi lagunya…saya rasa hampir semua orang disini akan tahu lagu apa ini (REKAMAN).
Jelaslah bahwa lagu ini, Hati Yang Luka, menambahkan arti yang tidak terdapat dalam syair sendiri. Persis apa artinya itu bisa diperdebatkan. Dalam hemat saya, lagu-lagu populer dalam shalawat Dulangdimaksudkan untuk mengingatkan penonton akan peranan islam sebagai agama yang akrab dengan rakyat, dan juga untuk membuat pesan dakwah lebih gampang diresap oleh pendengar. Jadi, lagu populer menguatkan dan membantu pesan.
Tetapi, dalam kurung saya ingin mencatat bahwa dalam konteks lain bisa saja terjadi bahwa lagu populer malah membawakan sikap sinis terhadap teks. Bayangkan misalnya kalau teks macapai karangan Paku Buwono keempat atau Mangkunegoro keempat, teks-teks yang sekarang dihormati sebagai kesenlan adiluhung, dinyanyikan bukan dengan lagu gong dan gendhing gamelan, tetapi dengan lagu Bujangan
Maksud saya adalah bahwa musik bisa membawa  asosiasi dan konotasi seridiri dan menambahkannya kepada arti kata-kata dalam text. Kalau kita hanya memperhatikan kata-kata dan menolak segala pengaruh atau pembawaan dari musiknya, kita memiskinkan analisa dan pengertian kita.
Contoh-contoh saya sampai di sini menunjukkan bagaimana musik bisa membantu menerangkan sastra. Tetapi bukan hanya musik yang membantu sastra. Semua unsur dalam sebuah pertunjukan mampu saling menerangkan. Sekarang saya ingin memberi contoh yang tidak melibatkan sastra sama sekali. Dalam pertunjukan Mlakasar yang disebut Pakarena, terdapat kendangan yang sangat dinamis dan menggairahkan (REKAMAN). Tetapi tariannya, yang biasanya dibawakan oleh beberapa wanita muda, sangat pelan, lembut, dan halus. Ada kontras yang tegang antara musik dan tari. Menurut Halilintar Lathie, seorang ahli kesenian Sulawesi, ketegangan inilah yang merupakan arti Pakarena. Pertunjukan Pakarena menggantarkan peranan pria dan wanita dalam masyarakat Makasar. Pria ideal diibaratkan sebagai nelayan atau pelaut, dan sebagai ombak-naik turun, giat, ramai. Sedangkan wanita ideal tenang, teguh, dan tahan godaan. wanita diibaratkan sebagai angin yang secara halus dan tidak nampak mengantarkan pria ke tujuannya.
Arti Pakarena yang ganda ini tidak terlihat kalau kita memperhatikan satu unsur, tari atau musik, dan menyisihkan yang satu lagi. Memang ada konteks ilmiah dimana kita ingin menganalisa musiknya sendiri atau tarinya sendiri, tetapi kita selalu harus ingat bahwa analisa sempit dan teknis semacam itu adalah analisa yang mencincang sesuatu yang seharusnya dilihat utuh.
keempat, teks-teks yang sekarang dihormati sebagai kesenlan adiluhung, dinyanyikan bukan dengan lagu gong dan gendhing gamelan, tetapi dengan lagu Bujangan
Maksud saya adalah bahwa musik bisa membawa  asosiasi dan konotasi seridiri dan menambahkannya kepada arti kata-kata dalam text. Kalau kita hanya memperhatikan kata-kata dan menolak segala pengaruh atau pembawaan dari musiknya, kita memiskinkan analisa dan pengertian kita.
Contoh-contoh saya sampai di sini menunjukkan bagaimana musik bisa membantu menerangkan sastra. Tetapi bukan hanya musik yang membantu sastra. Semua unsur dalam sebuah pertunjukan mampu saling menerangkan. Sekarang saya ingin memberi contoh yang tidak melibatkan sastra sama sekali. Dalam pertunjukan Mlakasar yang disebut Pakarena, terdapat kendangan yang sangat dinamis dan menggairahkan (REKAMAN). Tetapi tariannya, yang biasanya dibawakan oleh beberapa wanita muda, sangat pelan, lembut, dan halus. Ada kontras yang tegang antara musik dan tari. Menurut Halilintar Lathie, seorang ahli kesenian Sulawesi, ketegangan inilah yang merupakan arti Pakarena. Pertunjukan Pakarena menggantarkan peranan pria dan wanita dalam masyarakat Makasar. Pria ideal diibaratkan sebagai nelayan atau pelaut, dan sebagai ombak-naik turun, giat, ramai. Sedangkan wanita ideal tenang, teguh, dan tahan godaan. wanita diibaratkan sebagai angin yang secara halus dan tidak nampak mengantarkan pria ke tujuannya.
Anti Pakarena yang ganda ini tidak, terlihat kalau kita memperhatikan satu unsur, tari atau musik, dan menyisihkan yang satu lagi. Memang ada konteks ilmiah dimana kita ingin menganalisa musiknya sendiri atau tarinya sendiri, tetapi kita selalu harus ingat bahwa analisa sempit dan teknis semacam itu adalah analisa yang mencincang sesuatu yang seharusnya dilihat utuh.
Saya akan menutup makalah ini dengan beberapa saran yang kongkrit. Saya yakin bahwa saya bukan satu-satunya pembicara dalam seminar ini yang akan mengajukan saran-saran semacam ini.
Penelitian mengenai pertunjukan seharusnya dianggap penelitian multi­disipliner. Tetapi, secara praktis, seorang peneliti tidak mungkin menguasai sendiri semua disiplin yang terlibat dalam pertunjukan.
Satu jalan keluar adalah penelitian yang dilakukan oleh tim, dimana beberapa disiplin diwakili. Kalau dana tidak cukup untuk membiayai tim di lapangan, kita harus berani, sesudah pulang dari lapangan, minta pandangan kolega-kolega dalam disiplin lain terhadap data-data kita. Seharusnya, tidak ada lagi tulisan mengenai suatu jenis sastra lisan yang merahasiakan kenyataan bahwa sastra itu dinyanyikan. Kalau, misalnya, tidak mampu menganalisa musiknya sendiri, seorang peneliti sastra bisa meminjamkan kaset-kaset rekaman dari lapangan kepada seorang penelit musik, dan minta pendapat mengenai peranan musik dalam pertunjukannya.
Tetapi si musikolog tidak akan bisa membantu kalau informasi mergenai musiknya terlalu sedikit. Sebaiknya, setiap peneliti mempunyai gambaran mengenai informasi dasar yang akan diperlukan oleh disiplin-disiplin lain. supaya data-datanya bisa diolah secara bekerjasama. Untuk itu, saya sarankan supaya peneliti-peneliti dari setiap disiplin yang terlibat dalarn pertunjukan menyiapkan scmacam pedoman untuk peneliti dari disiplin-disiplin lain. Dalam pedoman itu dirinci data-data dasar, minimal, yang harus dikumpulkan supaya hasil penelitian dari displin A bisa diolah oleh peneliti dari disiplin B. Pedoman-pedoman itu, atau diskusi dan debat yang harus dilakukan sebelum pedomannya dapat disiapkan, pantas dimuat dalam jurnal seperti Warta ATL atau jurnal MSPl.
Perlu kita sadari dan ajrkan kepada siswa-siswi kita  kekurangan dan keterbatasan medium teks atau tulisan sebagai wadah informasi tentang pertunjukan. Kesadaran ini diperlukan supaya ciri-ciri yang khas dalam pertunjukan seperti variasi dan garapan – tidak selalu hilang dari l;aporan tertulis kita.
Dan akhirnya, kita harus cari jalan supaya pendidikan untuk peneliti tidak selalu terbatas satu disiplin saj. Tentunya, sebagaiman tadi saya katakan, kita tidak bisa mengharapkan bahwa setiap peneliti akan menguasai semua disaiplin. Tetapi alangkah baiknya kalau paling tidak setiap peneliti mempunyai gambaran mengenai teori dan teknik disiplin-disiplin lain yang juga terlibat dalam penelitian pertunjukan. Dengan cara-cara semacam ini, barangkali kita bisa mulai mendekati pertunjukan sebagi sesuatu yang utuh bukan sesuatu yang harus dicincang sebelum dibicarakan.

Alekawa Turun ke Bumi

Dari Pertunjukan Teater Baruga Colli Pujie
(17 Nov 2005, 24 x , Komentar)

Siapa yang tak mengenal bissu, Kajang, dan Pakarena. Itu adalah tiga simbol peradaban masyarakat Sulsel yang telah terkenal di manca negara. Eksistensi mereka membuat mereka ada dan dikenal. Zaman terus bergulir, masyarakat pun turut bermetamorfosa. Lantas, mestikah budaya silam seperti itu akan tergusur oleh lajunya arus modernitas?


===============
Meskipun budaya dan kepercayaan berkembang, komunitas bissu dan Kajang, masih tetap memperlihatkan eksistensinya. Rabu malam, sekelompok seniman Makassar, kampus UNM, dan seniman tradisional (daerah), termasuk Segeri, Pangkep, Makassar, dan Kajang, Bulukumba berkolaborasi dalam pentas teater kolosal. Pertunjukan dari ketiga etnis yang berbeda itu menyatu dalam sebuah pementasan yang digelar di Baruga Colli Pujie, gedung teater terbuka UNM Makassar.
Antusiasme penonton datang dari berbagai kalangan, mulai dari Makassar hingga daerah-daerah. Menurut sang sutradara, Dr Halilintar Latif MPd, pertunjukan yang tanpa latihan itu merupakan gabungan karya besar manusia, seperti kebudayaan bissu dan Kajang. "Kami datang dengan estetika yang berbeda, tapi ternyata indah saat digabungkan. Ada persamaan yang terkadang jarang ditemukan orang. Ritual boleh berbeda, namun tujuannya sama. Sama-sama untuk memuja leluhur," tutur Halil, sapaan sang aktor dan sutradara yang juga berperan sebagai bissu.

Kolaborasi dengan puluhan pemain tersebut menggunakan banyak properti untuk artistik panggung dan penyimbolan pesan. Setting panggung dengan menggunakan tiga latar untuk tempat bissu, salah satu bagian kebudayaan masyarakat Bugis, sebagai panggung utama.

Di tempat itu ada sesosok alekawa (dewata), posisinya yang di tengah memberi filosofi suatu masa transisi manusia. Di samping sang dewa, terdapat Lalen riwata atau jalan turunnya dewa ke bumi.

Komunitas bissu dan kepercayaannya, ada sejak awal peradaban masyarakat Sulsel. Mereka tetap mempertahankan komunitasnya dan melestarikan kebudayaannya.

Menurut Eva, salah seorang pemeran bissu yang memang bissu asli, kepercayaan bissu tidak lagi bercampur dengan ajaran agama yang mereka anut, tradisi bissu tetap berdiri sendiri, dan mereka pandang, bissu hanya sebagai kekayaan sejarah serta warisan budaya leluhurnya. Sampai saat ini katanya, para bissu banyak yang menjadi dukun di daerahnya yaitu Segeri, Kabupaten Pangkep.

Di samping panggung utama, tampak sekelompok orang yang berasal dari komunitas Kajang. Mereka membawakan tari-tarian. Dalam tarian itu menggambarkan, masyarakat yang merayakan kemenangannya. Menurut Abd Muin Dg Mille, aktor dan penabuh gendang, serta seniman asal Gowa, pertunjukan itu adalah sebuah cerita dari Tabing Suwalia, nama sebuah kampung di daerah Kajang.

Panggung pun semakin melebar. Dengan lilitan kain putih panjang, Puluhan orang berbaju hitam saling memegang lilitan kain putih itu, lalu mereka perputar mengitari sebuah pohon besar, yang ada di luar panggung utama. Dalam lingkaran orang-orang berbaju hitam, tampak beberapa lagi yang sedang berembuk dengan mengucapkan mantera-mantera dalam dialek dan bahasa tradisional Kajang. Tiba-tiba muncul dari tempat tersebut, seorang lelaki yang diusung di atas kursi, dengan memperkenalkan sebuah alat sebagai simbol kemodernan zaman.

Masih dalam pertunjukan itu, kedatangan lelaki yang diusung sebagai simbol modernitas, disambut dengan sorak ramai masyarakat. Dijelaskan Halil, masyarakat yang konon primitif, mereka pun mau menerima datangnya masa transisi, yaitu masa modern, di mana arus teknologi mengalir dengan deras.

Sebuah tontonan yang menceritakan keadaan masyarakat primitif, merespon penonton untuk terlibat sebagai pelakon. Lalu, apa alasan sang sutradara dalam pementasan yang mempertontonkan ritual dari berbagai etnis Sulsel itu, kemudian ada sekelompok orang yang beradu dengan sesamanya, beradu dengan badik? Hidup itu katanya adalah pertarungan satu dengan yang lain. Ada yang akan menang lalu ada yang kalah. Bahkan ada yang hanya jadi penonton, di luar dari gelanggang permainan. Lantas apa yang akan mereka cari dalam hidup? Itulah cuplikan dari realitas hidup masyarakat, dalam sebuah kemasan pertunjukan teater. (*)


Sumber : HAPSA MARALA

MUHAMMADIYAH DI ANTARA PRO DAN KONTRA SENI LOKAL

Di bawah ini adalah memori simpanan dari http://www.psbps.org/index.php?option=com_docman&task=doc_download&gid=3&Itemid=70.
Lauching dan Bedah Buku Halaqah Tarjih dan Kalimatun Sawa, 24 Mei 2003, PSB-PS UMS


M.A. Fattah Santoso**


Disampaikan dalam acara “Lauching dan Bedah Buku Halaqah Tarjih dan Kalimatun Sawa” diselenggarakan oleh Pusat Studi Budaya & Perubahan Sosial (PSB-PS) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS),pada tanggal 24 Mei 2003 di Ruang Sidang UMS.

Judul Buku : Sinergi Agama & Budaya Lokal: Dialektika Muhammadiyah dan Seni Lokal
Editor        : M. Thoyibi, Yayah Khisbiyah, dan Abdullah Aly
Penerbit     : Kerja sama MUP UMS (Muhammadiyah University Press Universitas  Muhammadiyah Surakarta), PSB-PS UMS (Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta), dan Majelis Tarjih & PPI (Perkembangan Pemikiran Islam) PP (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah.
Tahun : Cetakan Pertama, 2003
Tebal  : xii+273 halaman

Di tengah pencitraan bahwa Muhammadiyah merupakan gerakan Islam yang anti kebudayaan (hal. 195), termasuk seni, padahal ia dapat disebut sebagai gerakan kultural dengan tulang punggungnya pendidikan (hal. 191), munculnya buku ini patut disambut gembira, paling tidak karena buku ini merupakan buku ketiga yang bertema Muhammadiyah dan Kebudayaan/Kesenian dalam kurun waktu delapan tahun terakhir. Buku pertama adalah Islam dan Kesenian (1995), disunting Jabrohim dan Saudi Berlian, dan diterbitkan kerja sama Majlis Kebudayaan Muhammadiyah, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dan Lembaga Litbang PP Muhammadiyah.
Buku kedua adalah Agama dan Pluralitas Budaya Lokal (2002), disunting Zakiyuddin Baidhawy dan Mutahharun Jinan, dan diterbitkan Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Judul resensi buku ini lebih menekankan pada subjudul buku, yaitu Dialektika Muhammadiyah dan Seni Lokal daripada judul utama buku, yaitu Sinergi Agama & Budaya Lokal, karena, bila diamati, dari 19 bab isi buku yang dikelompokkan menjadi tujuh bagian itu hanya dua bab saja yang secara eksplisi*
Resensi buku dalam rangka launching (peluncuran) dua buku, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal (2002) dan Sinergi Agama dan Budaya Lokal: Dialektika Muhammadiyah dan Seni Lokal (2003), yang diselenggarakan Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, 24 Mei 2003.**

Penggiat PSB-PS UMS dan dosen di Fakultas Agama Islam (FAI) UMS. menjelaskan sinergi agama dan budaya lokal. Dalam tulisan Komaruddin Hidayat, “Dialektika Agama dan Budaya”, sinergi itu dilukiskan dengan ‘Islamisasi budaya’ atau ‘membudayakan Islam’ (hal. 10-12), sementara dalam tulisan Asep Purnama Bahtiar, “Dialektika Agama dan Budaya: Ketegangan Kreatif untuk Merumuskan Strategi Kebudayaan Muhammadiyah”, sinergi itu dilukiskan dengan ‘agama yang berwawasan budaya’ atau ‘budaya yang bernapaskan agama’ (hal. 199-200). Ketujuh belas bab sisanya terfokus pada kajian tentang Dialektika Muhammadiyah dan Seni Lokal.

Buku ini sebenarnya merupakan laporan dari sebuah halaqah—semacam diskusi intensif dalam format campuran antara seminar, round-table discussion dan lokakarya (hal. viii) yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Bahasa dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta bekerja sama dengan Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, entah kapan dan di mana (editor lupa menjelaskan waktu dan tempat penyelenggaraan halaqah). Karena itu, salah satu cara meresensi buku ini adalah menemukan kesesuaian antara target halaqah dan isi buku. Target dari halaqah ini adalah terdiskusikannya empat topik:
(1) Pergumulan Agama dan Seni Lokal: Pengalaman Komunitas Seni;
(2) Seni, Khasanah Lokal dan Peta Budaya Nusantara;
(3) Seni Lokal Nusantara dan Konstruksi Visi Seni Muhammadiyah; dan
(4) Model Aktualisasi Seni Lokal Nusantara dalam Strategi Kebudayaan Muhammadiyah (hal. 05-06).

Memperhatikan isi buku, secara cepat melalui daftar isi, misalnya, nampak bahwa ada target halaqah,
yaitu topik kedua, yang tidak tercapai, dalam pengertian tidak ada yang menyumbangkan tulisan dan tidak didiskusikan dalam focused group discussion karena topik diskusi telah bergeser ke topik kontroversi seni budaya lokal (hal. 229-230, 232-236). Target kedua ini tidak gagal sama sekali, paling tidak karena ada dua
bab/tulisan yang dikelompokkan dalam ‘bagian tiga’ dengan judul “Kearifan dalam Khazanah Seni Lokal”. Namun ketika dibaca dua tulisan yang masuk dalam ‘bagian tiga’, yaitu tulisan Sulkhan Zainuri, “Seni dalam Perspektif Islam” (hal. 123-131), dan tulisan Syamsul Hidayat, “Kajian Hadis tentang Seni Lukis dan Patung” (hal.133-147), pembaca menjadi bingung karena dalam dua tulisan itu tidak ditemukan kearifan dalam khazanah seni lokal. Untuk cetakan kedua, judul ‘bagian ketiga’ nampaknya perlu direvisi. Kearifan dalam khazanah seni lokal tidak berarti tidak termuat, tetapi justeru dapat ditemukan pada bagian lain, ‘bagian dua’: “Pergumulan sinergi agama dan budaya lokal. Dalam tulisan Komaruddin Hidayat, “Dialektika Agama dan Budaya”, sinergi itu dilukiskan dengan ‘Islamisasi budaya’ atau ‘membudayakan Islam’ (hal. 10-12), sementara dalam tulisan Asep Purnama Bahtiar, “Dialektika Agama dan Budaya: Ketegangan Kreatif untuk Merumuskan Strategi Kebudayaan Muhammadiyah”, sinergi itu dilukiskan dengan ‘agama yang berwawasan budaya’ atau ‘budaya yang bernapaskan agama’ (hal. 199-200). Ketujuh belas bab sisanya terfokus pada kajian tentang Dialektika Muhammadiyah dan Seni Lokal.
Agama dan Seni Lokal”. Sebagai misal, seni karawitan Jawa mengandung nilai-nilai universal, yaitu nilai kemerdekaan, toleransi dan kebersamaan (hal. 43).
Kontroversi seni budaya lokal sendiri, sebagai topik penggeser, telah memetakan keragaman pemahaman yang terkait dengan hubungan agama dan seni lokal di kalangan Muhammadiyah, elit sekalipun. Sebagaimana disebut dalam ‘bagian tujuh’, epilog (hal. 251-252), terdapat tiga kelompok: konservatif, akomodatif dan radikal. Kelompok konservatif, dengan berpijak pada prinsip bahwa seluruh aspek kehidupan manusia harus didasarkan atas agama, berpandangan bahwa seni lokal layak untuk dihakimi. Kelompok akomodatif berpandangan bahwa seni lokal mempunyai hak hidup yang harus diapresiasi (diakui dan dihormati) oleh
Muhammadiyah secara proporsional dan utuh. Bila ingin mempunyai seni yang sesuai dengan ajaran Islam, Muhammadiyah harus menciptakannya sendiri tanpa harus memodifikasi produk seni yang bukan hasil karyanya. Kelompok radikal berpandangan tentang perlunya pemisahan agama dan seni dalam pengertian seni lokal tidak menjadi alat dakwah dan tidak perlu dihakimi oleh agama, di satu sisi, dan agama tidak menjustifikasi dan mengkooptasi seni lokal di sisi lain. Apa yang terjadi dalam focused group discussion (hal. 232-236) memberikan gambaran agak lain. Keragaman kontroversi seni lokal dipetakan dalam empat kelompok. Bagi kelompok pertama, seni lokal potensial menjadi ancaman bagi kemurnian ajaran Islam (versi Muhammadiyah). Bagi kelompok kedua, seni lokal dapat menjadi alat dakwah, sehingga perlu dijiwai oleh dan disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Bagi kelompok ketiga, seni lokal merupakan bagian dari pluralitas masyarakat yang keberadaannya perlu diakui dan dihormati, dan bukan merupakan alat dakwah. Dan,
bagi kelompok keempat, diperlukan tindakan nyata untuk merealisasikan sikap positif Muhammadiyah terhadap kesenian. Bila klasifikasi pertama merupakan hasil nalar induktif dari klasifikasi terakhir, maka terjadi sedikit inkonsistensi, Bila kelompok pertama tidak lain kelompok konservatif, kelompok ketiga adalah
kelompok akomodatif, maka apakah kelompok keempat dapat disebut kelompok radikal, dan di manakah tempat kelompok kedua: konservatif tidak, radikal tidak, akomodatif juga tidak?
Apapun klasifikasi yang digunakan, kontroversi seni lokal di kalangan Muhammadiyah sebagaimana direpresentasikan peserta halaqah, menunjukkan bahwa judul dari kajian buku ini tidaklah bersifat dikhotomik: pro dan kontra. Di antara kedua pandangan ekstrim itu masih terdapat pandangan(-pandangan) lain.

Karena halaqah melibatkan juga komunitas seni, baik pelaku maupun penggiat, maka ada pertanyaan menarik yaitu bagaimana kontroversi seni lokal dalam perspektif mereka. Dari tujuh nara sumber, sekurang-kurangnya dapat dipolakan empat macam pergumulan agama dengan seni lokal: (1) spiritualisasi atau islamisasi, seperti spiritualisasi seni sastra sebagaimana diamati Zawawi Imron (hal.110-112), dan islamisasi, baik subjek (pelaku seni), seperti yang dilakukan Enthus Susmono dalam pertunjukan wayang (hal. 118-120, 213), maupun objek, seperti yang dilakukan Supriyanti dalam seni tari (hal. 103-104); (2) profanisasi atau rasionalisasi, seperti profanisasi seni rakyat Pakarena sebagaimana diamati Halilintar Lathief (hal. 59), dan rasionalisasi seni musik (sufi) sebagaimana diamati Irwansyah Harahap (hal. 85); (3) simbiosis atau mutual-understanding, seperti dalam seni karawitan sebagaimana dituturkan Waridi (hal. 42-43); dan (4) pluralisasi, seperti yang dilakukan Endo Suanda dalam seni rakyat (hal. 223-224). Deskripsi tentang empat pola pergumulan agama dan seni lokal dalam perspektif komunitas seni ini, menurut hemat pengkaji, menjadi salah satu kekuatan dari buku ini. Walau merupakan kekuatan dan menjadi pengantar bagi focused group discussion, empat pola pergumulan agama dan seni lokal ini tetap tidak mampu menggoyahkan pandangan-pandangan kelompok konservatif.
Adakah kekuatan lain dari buku ini? Kekuatan lain dari buku ini terletak pada keteguhan melakukan upaya rekonstruksi visi seni Muhammadiyah dan aktualisasi  seni (lokal) dalam strategi kebudayaan Muhammadiyah di tengah-tengah variasi kontroversi seni lokal. Menurut hemat pengkaji, upaya ini masih bersifat rintisan, karena dari tiga tulisan dan dialog yang terkait dengan rekonstruksi visi seni Muhammadiyah, hanya tulisan Bustanuddin Agus, Seni Lokal Nusantara dan Visi Baru Muhammadiyah, yang secara eksplisit memberikan kontribusi pada upaya rekonstruksi visi seni Muhammadiyah. Menurutnya, visi lama Muhammadiyah tentang seni adalah visi Islam murni—dia meminjam istilah Abdul Munir Mulkhan—yang berorientasi pada fiqih yang empirik dan kalam yang rasional, sementara visi barunya adalah visi Islam integratif yang memadukan aqidah, syariah dan tasawuf.
Tasawuf diperlukan karena ia berurusan dengan rasa, dan rasa yang halus melahirkan tindakan yang mengandung aspek seni (hal. 180-183). Memasukkan tasawuf dalam visi integratif, bagi tradisi Muhammadiyah, akan mengundang perdebatan tersendiri. Sehubungan dengan itu, tawaran M. Jandra tentang visi integratif dapat dipertimbangkan. Visi integratif itu memadukan nilai tauhid, nilai akhlak dan nilai

Sehubungan dengan itu, tawaran M. Jandra tentang visi integratif dapat dipertimbangkan. Visi integratif itu memadukan nilai tauhid, nilai akhlak dan nilai estetika, sehingga seni dalam perspektif Islam mengandung tiga unsur: benar, baik dan indah (hal. 170).
Terkait dengan aktualisasi seni (lokal) dalam strategi kebudayaan Muhammadiyah, ada tawaran menarik dari Chaerul Umam, mewakili Lembaga Seni Budaya PP Muhammadiyah, seperti: (1) membangun infrastruktur apresiasi dan studi seni lokal di Perguruan Tinggi Muhammadiyah; (2) mengembangkan komunikasi dan interaksi yang optimal dengan komunitas seni lokal; (3) menjadi fasilitator dalam publikasi seni lokal; dan (4) membentuk ruang-ruang ekspresi dan apresiasi seni, baik melalui pendidikan (kurikulum), multimedia, workshop, dan festival (hal. 192-193). Strategi yang lebih komprehensif ditawarkan oleh focused group discussion.
Tawaran disampaikan dalam bentuk matriks (lima kolom, enam baris). Namun sayang, sajian matrik tidak dilakukan oleh editor karena yang ada hanya narasi (hal.244-245).
Menyusul kelemahan teknik penyajian di atas, masih ada kekeliruan atau kekurangan teknis lainnya yang dalam cetakan berikut dapat direvisi atau ditambahkan. Kekeliruan teknis yang agak mengganggu adalah kekeliruan penulisan header (judul halaman) pada halaman-halaman ganjil bagian tiga (hal. 125-147).
Header pada bagian tiga tersebut ternyata tertulis sama dengan header pada halaman-halaman ganjil bagian kedua, yaitu Pergumulan Agama dan Seni Lokal.
Seharusnya header pada halaman-halaman ganjil bagian tiga sesuai dengan judul bagian tiga (hal. 121) yang menurut kajian di muka perlu direvisi juga karena inkonsisten dengan materi bab-bab yang dicakupnya. Masalah teknis lain yang menurut hemat pengkaji dapat dipertimbangkan revisinya adalah penulisan tim
penerbit yang diformat kecil—sehingga agak sulit dibaca—pada halaman judul buku, baik halaman muka maupun halaman dalam. Adapun kekurangan teknis dari buku ini—sehingga dapat disempurnakan pada penerbitan mendatang—adalah belum adanya indeks.
Terlepas dari kekeliruan dan kekurangan yang ada, maka secara umum buku ini enak dibaca karena kekeliruan pengetikan hampir-hampir tidak dijumpai, dan sebagai laporan halaqah (seminar dan lokakarya) buku ini bersifat komprehensif, paling tidak dari perspektif proses karena ada prolog, tulisan, proses dialog, dan epilog, sementara dari segi muatan buku ini memancing rasa ingin tahu (curiosity)
karena temuannya yang bersifat eksploratif-diskoveri.


Di luar tema Dialektika Muhammadiyah dan Seni Lokal, beberapa tulisan—tanpa dirancang—telah menjadikan buku ini memiliki temuan eksplanatif-verifikatif, temuan yang menguji teori atau tesis. Melalui kajian historiografinya, Taufik Abdullah (1988) dalam buku yang disuntingnya bersama Sharon Siddique, yaitu
Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, dan diterbitkan LP3ES Jakarta, mengajukan tesis tentang ”Islam dan pembentukan tradisi”, yaitu “peranan Islam dalam pembentukan tradisi di kawasan-kawasan luar Jawa mengikuti pola integrasi”, sementara “peranan Islam dalam pembentukan tradisi di pulau Jawa lebih mengikuti pola dialog”. Dalam pola integrasi, Islam menjadi bagian intrinsik dari sistem kebudayaan secara keseluruhan, Islam dipandang sebagai landasan masyarakat budaya dan kehidupan pribadi. Islam merupakan unsur dominan, baik dalam  komunitas kognitif yang baru, maupun dalam paradigma politik. Dalam pola dialog, Islam yang mendorong perubahan sosial dan tradisi yang mendorong kontinyuitas harus menemukan lapangan bersama. Pola dialog merupakan hasil dari pertemuan dan akomodasi budaya yang berlangsung selama proses Islamisasi. Buku ini melalui tulisan Waridi, Musik Tradisi Jawa Tengah, yang menggambarkan pola simbiosis atau mutual-understanding dari pergumulan Islam dan seni lokal (hal. 43), ingin meneguhkan sebagian dari tesis Taufik Abdullah di atas bahwa “peranan Islam dalam pembentukan tradisi di pulau Jawa lebih mengikuti pola dialog”. Sementara itu, melalui tulisan Halilintar Lathief, Seni Rakyat: dari Pergumulan ke Pergumulan, yang walaupun menggambarkan pola profanisasi, seni lokal dan budaya lokal secara keseluruhan di dalam kehidupan kerajaan Gowa, disebutnya pangadakkang, tetap hidup berdampingan secara damai dengan perilaku yang dibawa agama (hal. 59-60), buku ini ingin mengemukakan pengecualian dari sebagian lain tesis Taufik Abdullah, yaitu “peranan Islam dalam pembentukan tradisi di kawasan-kawasan luar Jawa mengikuti pola integrasi” Dengan bobot temuan yang tidak saja eksploratif-diskoveri tetapi juga eksplanatif-verifikatif, buku ini layak untuk dibaca. Selamat membaca.[fs]

MUSIC OF INDONESIA VOL. 18


MUSIC OF INDONESIA VOL. 18: Sulawesi: Festivals, Funerals, and Work
Recorded, compiled, and annotated by Philip Yampolsky. 32- page booklet with map. 73
minutes. SFW 40445 (1999)

This file provides transcriptions (and some translations) of the texts sung in Volume 18 of the
20-volume Music of Indonesia series published by Smithsonian Folkways Recordings:

In addition to song texts, we include a few small addenda and corrections, and we provide the
references that were cited in the published text but could not be included there for reasons of
space. At the end of the list of references we add some further references that were not cited
in the text but are relevant to the topics discussed there and in volume 15.


Tracks 1 & 2. Jangang Lea’-lea’, parts 3 and 4

Text of track 1 (vocables omitted):


Tamanrunanna [mo bedeng??]
Leko’ kayu mammoterang

Text of track 2 (vocables omitted):


Iyarakkang jinjo bedeng
Nia ero’ tallung bangngi

Note: the text here—aside from the words shown in brackets above—was written down by
Abdul Muin Daeng Mile for me, and the text as he wrote it is indeed audible. He gets it out of
the way quickly, and the rest of the vocal in each track is just vocables.

The first word of track 1, tamanrunanna, was incorrectly shown in the published commentary as
tamanrunna, with one syllable omitted. As for the words mo bedeng, shown in brackets in the
text for track 1: I believe I hear them, although Dg. Mile did not write them. Knowing scarcely a
word of Bahasa Makasar, but emboldened by the presence of bedeng in the written text of the
first line of track 2, I offer them tentatively, allowing for the possibility that they are vocables and
not part of the basic text, or that they are some other words, not spelt this way at all. — Philip
Yampolsky

Track 3. Rikong
Transcription (from Bahasa Konjo) & translation by Baharuddin Muslim and Nurcaya Muslim.
1. Lampa kunnikisse’ mae
manningara tamboritta
naungki je’ne’
natania turungenta
alla rikong
Pergi kita ke sini lagi
menengadah pada suatu tempat
turun ke air
bukan kita yang dikhususkan
2
2. Tallomonaka nisa’ring
kapa’mae’ tea tappu’
urang siana’
tea nisolang-solangi
alla rikong
Bukannya karena persaudaraan
yang tak akan putus
teman saudara
jangan dirusak [=dinodai]
3. Punna rie’ angen battu
teako ta’bangka-bangka
pasanna jintu
russana’ bella kamponna
alla rikong
Kalau ada angin datang
janganlah kamu terkejut
hanya pesannya
datang dari [temanmu yang] jauh
[Note: I am unable to connect this transcribed text with the sound, though I think I may hear alla
rikong at the end of each verse. —PY]

Track 5. Simbong
Transcription (from Bahasa Toraja) & translation by A. Halilintar Lathief.

Note: track 5 begins after the third men’s verse, and fades out after the beginning of the sixth
women’s verse. The text here shows all the verses sung in the unedited recording.

1. Women:
Masaemi sikikuwa
masaemi siki
kekidempa sola torro
kekidempa sola

Sudah lama kami idam-idamkan

kalau boleh kita serumah
1. Men:
Paillangkan simbolommu
paillangkan simbo
tantannike’ mammallikko
tantannike’ mamma
Simpan dalam sanggulmu

jika rindu bukalah rambut itu
2. Women:
O le dikuan Ambek to Pongko
dikuan Ambek to
oo gayale bulawan
oo gayale bula

Seperti Ambek orang Pongko

keris bertata emas
2. Men:
Kekimanik oran-oran
kekimanik oran
angki illallang kollongmu
angki illallang ko

Andaikan kami bagai kalung

melingkar pada leher
3. Women:
O le paiyaokan talimmu

Letakkanlah kopi pada topimu
3
paiyaokan ta
o le ammu ondo-ondo ankan
ammu ondo-ondo

dan bergembiralah menari-nari
3. Men:
Kaloek dau mamallai
kaloek dau ma
indek siamokan kamik
indek siamokan

[Burung] kaloek jangan rindu

kami ada di sini
[
Track 5 begins here:]
4. Women:
O le garagang ponto lolakan
garagang ponto lo
o le dikuan Ambek to Pongko
dikuan Ambek to

Buatlah kami bagai gelang lola

bagai Ambek orang Pongko
4. Men:
Dondon bulan mokomai
dondon bulan mo
angki timang bintoengko
angki timang binto

Jatuhlah bagai rembulan

kami tadah bagai bintang
5. Women:
Oi sompokan antalaomo
sompokan antala
o le lutama Bambana Batu
lutama Bambana

Usunglah kami bila berangkat

masuk ke [kampung] Bambana Batu
5. Men:
Liling gongga talaona
liling gongga tala
[last two lines not sung; cf. men’s verse 7]

Mari kita berkeliling

---
6. Women:
Purak tarik batattana
[
track 5 fades out here]
purak tarik bata
o le taola mallai bongngi
taola mallai

Jalan kayu telah dibersihkan


kita berjalan malam
6. Men:
Losso pole inawangki
losso pole ina
nalambi pappura ingki
nalambi pappura

Kami telah bahagia

cita-cita telah tercapai
7. Women:
Iamo antalaomo

Mari kita berangkat
4
iamo antala
o le lutama Bambana Batu
lutama Bambana



masuk ke [kampung] Bambana Batu
7. Men:
Liling gongga talaona
liling gongga tala
lusau Bambana Pongko
lusau Bambana

Mari kita berkeliling

masuk ke [kampung] Bambana Pongko

Track 6. Raego’
Transcription (from Bahasa Rumoe and Uma) & translation (into Indonesian) by Thomas Dado
(Bapak Suliman).

The refrain of the song is a sentence in Rumoe, the “mushroom language”:
Boli risei ronto
tali.
Thomas Dado (Bapak Suliman), the former Kepala Desa of Onu, wrote out a translation of
this line in everyday Bahasa Uma, but unfortunately we cannot read the first word of his
translation. It might be turika: Turika [?] ronto na kupososora. He further translated it into
Indonesian: Berikan pakaian bekas menjadi kenang-kenangan, and we translate that into
English as: “Give some old clothing [of the deceased] as a remembrance.”

Each choral statement of the refrain is preceded by a solo sung in Bahasa Uma. The solo lines
are shown below. Each one is answered by the refrain.


1. Seina tagolinda mompai boli…
The event that happened…
2. Isei tulounda mompai talie…
I recall it every moment…
3. Moronto morontomo talina mompai…
Never again will the deceased come
home…
4. Tabolohi tabolihi lounda mompai…
Put something away as a memento…
5. Risei moompi…
We join together as a family…
6. Morontomi tali idei…
Our family has lost someone…
7. Hirei rauli ta…
It was said there is a memento here…
8. Hangkale damole ta…
There is nothing we can do…



9–12. Marani songs
(approximate texts)
Note: these texts are highly unreliable! The problem is this: after our recording, the director of
the singers, Thomas Rotikan, wrote down a number of the texts for us, and his daughter, Paula
Rotikan, wrote down some others. But Thomas Rotikan tended to write whole lines of songs as
one long word, which, not knowing Bahasa Tombulu, I could not break down into component
parts; and I had difficulty in reading the handwriting of both father and daughter. If I had been
able to bring some knowledge of the language to bear I could probably have deciphered the
handwriting. As it was, I worked with Paula Rotikan on both sets of texts, trying to determine
what the letters were, but I am not certain that I got them all correctly. In particular, there is a
5
phoneme in Tombulu—to me it sounds like z—that was variously written as s, r, and z. (The
word I have written as marani, on the advice of specialists who said z is rare or nonexistent in
Minahasa languages, sounds to me like mazani.) I also had trouble distinguishing between the
written forms of a and o, and between u, m, and n. What’s more, there were (as of course
often happens) some clear discrepancies between what was written and what was actually
sung. Paula and I tried to work out the actual sung texts.

Thus the versions here are the result of my attempts to read (in consultation with Paula
Rotikan) the texts handwritten by Thomas and Paula Rotikan, combined with Paula’s and my
efforts to amend the written texts to match the recorded singing. That’s too many editors for
one set of lyrics—especially when one editor is not competent in the primary language, and the
others are not trained in the conventions of transcription. I was tempted to simply suppress
these flawed texts, but eventually I decided that a specialist in Tombulu might be able to make
something out of them. If a specialist will send me corrections, I will post them here and gladly
throw out the garble that is all I can offer at the moment.


9.
Esa na wia-wia mokaria
(text provided by Thomas Rotikan)

Solo:
Esanawiawiamokaria
Chorus:
Epelengsetirotumarendem
Solo:
Epelengsetirotumarendem
Chorus:
Esanawiawiamokaria

Solo:
Esangalian neni komokan
Chorus :
Ekaria reiwerenanla
Solo:
Ekaria reiwerenanla
Chorus:
Esangalian neni komokan

Solo:
Ewisa alinampangnganume
Chorus:
Katuu reitinemboname
Solo:
Katuu reitinemboname
Chorus:
Ewisa alinampangnganume

Solo:
Limampang kantaremekaria
Chorus:
Ewanantoro ambalenera
Solo:
Ewanantoro ambalenera
Chorus:
Limampang kantaremekaria

Solo:
Okewurkampe ondanokaria
Chorus:
Elinampangan nemahkaria
Solo:
Elinampangan nemahkaria
Chorus:
Okewurkampe ondanokaria

[in Thomas Rotikan’s handwritten text, but not sung in this performance:]

Esalumampalampang lakaria
Eseroyor elarasakenwe

Elumampangngi mboondo kariya
6
Ewolaker semanembonembo
Esaulit salolambotto kariya
Ereimo simanembonembo



10.
Tanumo
(text provided by Thomas Rotikan)

Solo:
Tanumo kuana wia niko
Chorus:
Samapontolo nikamumo zua
Solo:
Samapontolo nikamumo zua
Chorus:
Tanumo kuana wia niko

Solo:
Kinuramumo aku endoone
Chorus:
Endeimo maliuzwia niko
Solo:
Endeimo maliuzwia niko
Chorus:
Kinuramumo aku endoone

Solo:
Sasiroyor sa lumangkoyyo
Chorus:
Katengkar ate nemamuley
Solo:
Katengkar ate nemamuley
Chorus:
Sasiroyor sa lumangkoyyo


11.
Sei si maka leso ekaria
(text provided by Paula Rotikan)

Each verse sung twice:

Solo:
Sei si maka leso ekaria
Chorus:
Memayaze wana sendangan
Solo:
Memayaze wana sendangan
Chorus:
Sei si maka leso ekaria

Solo:
Leso ni kanaramen ekaria
Chorus:
Ni pasigi umbalenera
Solo:
Ni pasigi umbalenera
Chorus:
Leso ni kanaramen ekaria


12.
Iwehe
(text provided by Paula Rotikan)
Each line below is sung first as a solo or duet, then repeated by chorus, which adds a closing
phrase, O royoz endo e zoe.

Iwehe momaniko uleso wo lepetena
Lepeten malualus si royoz wo iraraatena
Salamo katu ni ko ya nimanaram si leos uman
Lamokan manaramlah wana sitoyo genang-genangen
Mahasaasaranlah kamu zua seinolatan
Sei sinimalewo wana ni mengasangasaran
7
13. Maengket: Ma’owei kamberu
Basic text (in Bahasa Tontemboan) provided by Semuel Assa; text-flow markings added by PY.

Winoilan — Oweica
Turuanai lalan karondoran — Oweica
Tayang waya sekaengko-engkolan — Oweica

E mone se-mangale-ngalei wene — Oweica
O Empung Renga-rengan maturu lalan karondoran — Oweica (2x)
Kamangenai se-mangale-ngalei wene — Oweica (2x)

Waya si Opo empangaleyane kamberu owei (2x)
Opo Wailan makakolano imbene owei (2x)
[line missing] (2x)
Pangaleyan imbene imbuena kamberu owei (2x)

O Winoilane oweye
Kamberu Wailane oweye
O Winoilane oweye
Kamberu Wailane oweye
Opo e kamberu weanai — oweye
Waya mangale-ngalei — oweye
Waya mangalei — kamberu owei
Sendo-sendotai — kamberu owei
Wue-wuenai — kamberu owei
Wailan i combak-e — kamberu owei
Waya kumombak-kombak — kamberu owei

Kamberu Wailan kamberu oweye (4x)

Sa maupu imbene kamberu, tiyo paento-entosan kamberu owei (2x)
Sa maupu imbene kamberu, tiyo palenge-lenge en kamberu owei (2x)

Sumempu-sempung waya asi Opo Wailan oweye kamberu oweye (4x)

Si Opo rumekos sumesempung imbene-e owei kamberu (2x)
Tembonai wene kamberu malewuo bene-e owei kamberu (2x)
Wailan paregesan rongkoranai wuena owei kamberu (2x)

Oweyen bene e kamberu e waya si Opo o Wailane (2x)
Kamangenai semangale-ngalei wene waya si Opo o Wailane (2x)

Kekekow e kamberu — Waya kumalekew imbene kamberu
O ya wene sapa sipangaleian — Yande pangaleian kawayaan bene

Wene rendang — wene pondos owei
Wene kulo — wene sumando owei
Wene ruwaticanai — paloyanai owei
Raitoro — wo paentosen owei.
8


ADDENDA AND CORRECTIONS
1. The first word of the text of Jangang lea’-lea’ part 3 (track 1) is tamanrunanna, not
tamanrunna.

2. The name of the “mushroom language” in which the basic texts of raego’ are sung (see track
6) is Rumoe.

3. The description of the singing-plan for track 12 should be revised. The text is not really in
couplets. Instead (as shown above) it consists of single lines that are sung first as a solo or
duet and then repeated by the chorus, which adds a closing phrase. Note also that the spelling
of the title should be Iwehe, not Ivehe as in the published version.


REFERENCES CITED IN THE PUBLISHED COMMENTARY FOR VOLUME 18
In Part I of this bibliography, the series editor provides the references that were cited in the
published text but could not be included for reasons of space. In Part II, he adds some further
references that were not cited in the text but are relevant to the topics discussed there and in
volume 15. Part III consists of additional references, added after the compilation of biographies
I and II. All three were compiled by Philip Yampolsky.

References Part I : Cited in the published text
Adam, L. “Zeden en gewoonten en het daarmede samenhangende adatrecht van het
Minahassische volk. (Uit en over de Minahasa, no. 6.)” Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde van Nederlandsch-Indië 81:424–499, 1925.
Adriani, N. and Alb. C. Kruyt. De Bare'e sprekende Toradjas van Midden-Celebes (de Oost-
Toradjas). 2nd ed., rev. [by Kruyt]. 3 vols. in 4 parts. (Verhandelingen der Koninklijke
Nederlandse Akademie van Wetenschappen, Afdeling Letterkunde, nieuwe reeks, 54-55-
56[1,2].) Amsterdam: Noord-Hollandsche Uitgevers Maatschappij, 1950–1951. [First ed.,
1912–1914.]
Aragon, Lorraine V. “Suppressed and revived performances: raego' songs of Central
Sulawesi.” Ethnomusicology 40(3):413–439, 1996.
———. In the fields of the Lord: Christianity and state development in Indonesia. Honolulu:
University of Hawai'i Press, forthcoming.
Atkinson, Jane M. The art and politics of Wana shamanship. Berkeley: University of California
Press, 1989.
Boonzajer Flaes, Robert. “Bamboo brass in the Minahassa.” Experimental Musical Instruments
9(4):10–15, June 1994.
Ensiklopedi musik dan tari daerah Sulawesi Tengah. [Palu]: Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah, 1977/1978.
Gervaise, Nicolas. An historical description of the kingdom of Macasar in the East-Indies.
Westmead, Farnborough, Hants.: Gregg International Publishers, 1971 [1701].
Graafland, N. De Minahassa: haar verleden en haar tegenwoordige toestand. [2nd ed., rev.] 2
vols. Batavia: G. Kolff, 1898.
9
Note: Two Indonesian translations of Graafland have been published, both using as
their source the first Dutch edition (Rotterdam: M. Wyt & Zonen, 1867–1869). They
are:
Minahasa: masa lalu dan masa kini. Yoost Kullit, trans. Jakarta: Lembaga
Perpustakaan Dokumentasi & Informasi (Yayasan Pengembangan
Informasi dan Pustaka Indonesia), 1987.
Minahasa: negeri, rakyat, dan budayanya. Lucy R. Montolalu, trans. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1991.
Henley, David E. F. Nationalism and regionalism in a colonial context: Minahasa in the Dutch
East Indies. (Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en
Volkenkunde, 168.) Leiden: KITLV Press, 1996.
Holt, Claire. Dance quest in Celebes. Paris: Les Archives Internationales de la Danse, 1939.
Kate, P. ten. “Het moraego.” [With postscript by N. Adriani.] Mededeelingen van wege het
Nederlandsch Zendelinggenootschap 59:332–338, 1915.
Kaudern, Walter. Musical instruments in Celebes. (Ethnographical studies in Celebes: Results
of the Author’s Expedition to Celebes, 1917–1920, 3.) Göteborg: Elanders Boktrykeri,
1927a.
———. Games and dances in Celebes. (Ethnographical studies in Celebes: Results of the
Author’s Expedition to Celebes, 1917–1920, 4.) [Göteborg: Elanders Boktrykeri, 1927?b].
Kruyt, Alb. C. “Een en ander over de To Laki van Mekongga (Zuidoost-Selebes).” Tijdschrift
voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 61(5):427–470, 1922.
———. “De To Loinang van den Oostarm van Celebes.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde van Nederlandsch-Indië 86(3/4):327–536, 1930a.
———. “De To Wana op Oost-Celebes.” Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en
Volkenkunde 70(4):397–626, 1930b.
———. “Banggaische studiën.” Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde
72(1):13–102, 1932a.
———. “De pilogot der Banggaiers en hun priesters.” Mensch en Maatschappij 8:114–135,
1932b.
———. De West-Toradjas op Midden-Celebes. 4 vols [plus one of plates]. (Verhandelingen
der Koninklijke Nederlandsche Akademie van Wetenschappen, Afdeeling Letterkunde,
nieuwe reeks, 40.) Amsterdam: Noord-Hollandsche Uitgevers-Maatschappij, 1938a.
———. “De fluit in Indonesië.” Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde
78(2):248–270, 1938b.
Kruyt, J. “De Moriërs van Tinompo (Oostelijk Midden-Celebes).” Bijdragen tot de Taal-, Land-
en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië 80(1):33–217, 1924.
Kunst, Jaap. “Music and dance in the outer provinces” [1946], pp. 173–204 in: Jaap Kunst.
Indonesian music and dance: traditional music and its interaction with the West.
Amsterdam: Royal Tropical Institute, 1994.
Lathief, Halilintar and Niniek Sumiani HL. Pakkarena: sebuah bentuk tari tradisi Makassar.
[Jakarta]: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Jakarta, Direktorat Jenderal
Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995.
Lundström-Burghoorn, Wil. Minahasa civilization: a tradition of change. Göteborg: Acta
Universitatis Gothoburgensis, 1981.
Mangemba, H. D. “Alam ‘pakarena.’” Budaya 6(11/12):508–510, 1957.
Naskah dan penuntun tentang kesenian daerah Sulawesi Tenggara dan pementasan kesenian
dan duta seni. [Kendari]: Proyek Pusat Pengembangan Kebudayaan Sulawesi Tenggara,
1978/1979.
Noorduyn, J. A critical survey on the languages of Sulawesi. (KITLV Bibliographical Series,
18.) Leiden: KITLV Press, 1991.
10
Pelras, Christian. The Bugis. Oxford: Blackwell, 1996.
Rappoport, Dana. Indonésie, Toraja: funérailles et fêtes de fécondité. Album commentary for
CD, Le Chant du Monde CNR 274 1004. 1995.
Rössler, Martin. “Striving for modesty: fundamentals of the religion and social organization of
the Makassarese Patuntung.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde
146(2/3):289–324, 1990.
Concerns the people called Kajang in volumes 15 and 18.
Schwarz, J. Alb. T. Tontemboansche teksten: vertaling. Leiden: E. J. Brill, 1907.
Sumaryo L.E. “Beberapa catatan mengenai musik dan tari di daerah Bugis (Sulawesi
Selatan).” Musika 2:71–95, 1973.
This is a slightly abridged version of Bab I (pp.5-36) of [Sumarjo L.E., et al.], Beberapa catatan
musik dan tari daerah Bugis dan Nias. [Jakarta]: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Nasional, Direktorat Jendral Kebudayaan, 1972. Note the two spellings of the
author’s name, and the disappearance of et al.
Sutton, R. Anderson. Local performance and local power: music, dance, and the politics of
culture in lowland South Sulawesi. Forthcoming.
Wilken, N. P. “Bijdragen tot de kennis van de zeden en gewoonten der Alfoeren in de
Minahassa [2],” Mededeelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap
7:289–332, 1863.


Part II: Additional references not cited in vol. 18 (including references from vol. 15):
Abdullah, Amin. “Eksperimentasi pembuatan lagu daerah ‘Ledo', sebuah lagu hiburan bergaya
dan berbahasa Kaili, Sulawesi Tengah,” pp. 247-289 in: Laporan pelaksanaan temu
ilmiah dan festival MSPI '94, tanggal 1–3 Desember 1994 di Maumere, Flores. Surakarta:
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1995.
Concerns dero.
Acciaioli, Greg. “Culture as art: from practice to spectacle in Indonesia.” Canberra
Anthropology 8(1/2):148-172, 1985.
Concerns Central Sulawesi.
Aragon, Lorraine V. "Revised rituals in Central Sulawesi: the maintenance of traditional
cosmological concepts in the face of allegiance to world religion." Anthropological Forum
6(3):371–384, 1991/1992.
Bastin, John, ed. The British in West Sumatra, 1685–1825. Kuala Lumpur: University of
Malaya Press, 1965.
Brouwer, M. Melattie. 60 tahun Bala Keselamatan di Sulawesi Tengah. Bandung: Bala
Keselamatan, 1977.
Concerns the history of the Salvation Army in Central Sulawesi.
Dahlan, Muniar. “Tipalayo sebagai satu karya sastra Mandar.” BA thesis. Ujung Pandang:
FKSS–IKIP, 1979.
George, Kenneth M. "Felling a song with a new ax: writing and the reshaping of ritual song
performance in upland Sulawesi." Journal of American Folklore 103(407):3–23, 1990.
———. "Music-making, ritual, and gender in a Southeast Asian hill society." Ethnomusicology
37(1):1–27, Winter 1993.
———. “Lyric, history, and allegory, or the end of headhunting ritual in upland Sulawesi.”
American Ethnologist 20(4):696-716, 1993.
———. Showing signs of violence: the cultural politics of a twentieth-century headhunting
ritual. Berkeley: University of California Press, 1996.
Kiem, Christian. “Minahasan festive life in the context of generational change.” In: Helmut
Buchholt and Ulrich Mai, eds. Continuity, change and aspirations: social and cultural life
11
in Minahasa, Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1994), pp. 51–
67.
Mangemba, H. D. “Tari ‘padjaga’ dari Luwu.” Budaya 7(8/9):337-340, Agustus/September
1958.
———. “Musik ‘ganrangbulo.’” Budaya 7(11/12):448-450, Nopember/Desember 1958.
Millar, Susan Bolyard. Bugis weddings: rituals of social location in modern Indonesia.
(Monograph 29.) Berkeley: Center for South and Southeast Asian Studies, University of
California at Berkeley, 1989.
Pelras, Christian. “Le trésor des contes bugis.” In Papers from the III European colloquium on
Malay and Indonesian Studies (Naples, 2–4 June, 1981), edited by Luigi Santa Maria,
Faizah Soenoto Rivai and Antonio Sorrentino, pp. 181–194. Naples: Istituto Universitario
Orientale, Dipartimento di Studi Asiatici, 1988.
———. “Introduction à la littérature bugis.” Archipel 10:239–267, 1975.
Rappoport, Dana. "Du repérage musical au travail de terrain ethnomusicologique en
Indonésie." Cahiers de musiques traditionnelles [Ateliers d'ethnomusicologie / Archives
internationales de musique populaire; Genève: Georg Editeur] 8:13–32, 1995b.
Schefold, Reimar. “Introduction,” pp. 1–6 in: Reimar Schefold, ed. Minahasa past and present:
tradition and transition in an outer island region of Indonesia. (CNWS Publications, 28.)
Leiden: Research School CNWS [Centre of Non-Western Studies], 1995.
Schouten, M.J.C. Leadership and social mobility in a Southeast Asian society: Minahasa,
1677–1983. (Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en
Volkenkunde, 179.) Leiden: KITLV Press, 1998.
Sutton, R. Anderson. “Performing arts and cultural politics in South Sulawesi.” Bijdragen tot de
Taal-, Land- en Volkenkunde 151(4):672–699, 1995.
Volkman, Toby Alice. “Great performances: Toraja cultural identity in the 1970s.” American
Ethnologist 11(1):152–169, 1984.
———. Feasts of honor: ritual and change in the Toraja highlands. Urbana: University of
Illinois Press, 1985.
——. “Visions and revisions: Toraja culture and the tourist gaze.” American Ethnologist
17:91–110, 1990.
Wolterbeek Muller, J. "De manpurengké-feesten in de Minahassa." Internationales Archive für
Ethnographie 17:222–224, 1905.
Part III: Additional References Cited:
Fraassen, Ch. F. van. "Ternate and its dependencies," pp.23–33 in: Leontine E. Visser, ed.
Halmahera and beyond: social science research in the Moluccas. (Koninklijk Instituut voor Taal-
, Land- en Volkenkunde, Proceedings, 1.) Leiden: KITLV Press, 1994.
"Notizen über Musik und Gesänge der malaiischen Eingeborenen auf den Sundainseln und
molukkischen Inseln (Ost-Indien). Von einem Ohrenzeugen." Allgemeine musikalische Zeitung
42:1057-1063, 1840.
Probojo, Lany. Tradition und Moderne in Tidore, Indonesien: die Instrumentalisierung
islamischer Rituale und ihre politische Relevanz. (Südostasien, 8.) Münster: Lit, 1998. 305 pp.
Trimingham, J. Spencer. The Sufi orders in Islam. Oxford: Clarendon Press, 1971.
Tsuchiya, Kenji and James Siegel. "Invincible kitsch or as tourists in the age of Des Alwi."
Indonesia 50:61–76, October 1990.
12
Adam, L. "Zeden en gewoonten en het daarmede samenhangende adatrecht van het
Minahassische volk. (Uit en over de Minahasa, no. 6.)" Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde van Nederlandsch-Indië 81:424–499, 1925.
Adriani, N. and Alb. C. Kruyt. De Bare'e sprekende Toradjas van Midden-Celebes (de Oost-
Toradjas). 2nd ed., rev. [by Kruyt]. 3 vols. in 4 parts. (Verhandelingen der Koninklijke
Nederlandse Akademie van Wetenschappen, Afdeling Letterkunde, nieuwe reeks, 54-55-
56[1,2].) Amsterdam: Noord-Hollandsche Uitgevers Maatschappij, 1950–1951. [First ed.,
1912–1914.]
Aragon, Lorraine V. "Suppressed and revived performances: raego' songs of Central
Sulawesi." Ethnomusicology 40(3):413–439, 1996.
———. In the fields of the Lord: Christianity and state development in Indonesia. Honolulu:
University of Hawai'i Press, forthcoming.
Atkinson, Jane M. The art and politics of Wana shamanship. Berkeley: University of California
Press, 1989.
Boonzajer Flaes, Robert. "Bamboo brass in the Minahassa." Experimental Musical Instruments
9(4):10–15, June 1994.
Ensiklopedi musik dan tari daerah Sulawesi Tengah. [Palu]: Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah, 1977/1978.
Gervaise, Nicolas. An historical description of the kingdom of Macasar in the East-Indies.
Westmead, Farnborough, Hants.: Gregg International Publishers, 1971 [1701].
Graafland, N. De Minahassa: haar verleden en haar tegenwoordige toestand. [2nd ed., rev.] 2
vols. Batavia: G. Kolff, 1898.
Note: Two Indonesian translations of Graafland have been published, both using as
their source the first Dutch edition (Rotterdam: M. Wyt & Zonen, 1867–1869). They are:
Minahasa: masa lalu dan masa kini. Yoost Kullit, trans. Jakarta: Lembaga
Perpustakaan Dokumentasi & Informasi (Yayasan Pengembangan Informasi dan
Pustaka Indonesia), 1987.
Minahasa: negeri, rakyat, dan budayanya. Lucy R. Montolalu, trans. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1991.
Henley, David E. F. Nationalism and regionalism in a colonial context: Minahasa in the Dutch
East Indies. (Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde,
168.) Leiden: KITLV Press, 1996.
Holt, Claire. Dance quest in Celebes. Paris: Les Archives Internationales de la Danse, 1939.
Kate, P. ten. "Het moraego." [With postscript by N. Adriani.] Mededeelingen van wege het
Nederlandsch Zendelinggenootschap 59:332–338, 1915.
Kaudern, Walter. Musical instruments in Celebes. (Ethnographical studies in Celebes: Results
of the Author's Expedition to Celebes, 1917–1920, 3.) Göteborg: Elanders Boktrykeri, 1927a.
———. Games and dances in Celebes. (Ethnographical studies in Celebes: Results of the
Author's Expedition to Celebes, 1917–1920, 4.) [Göteborg: Elanders Boktrykeri, 1927?b].
13
Kruyt, Alb. C. "Een en ander over de To Laki van Mekongga (Zuidoost-Selebes)." Tijdschrift
voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 61(5):427–470, 1922.
———. "De To Loinang van den Oostarm van Celebes." Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde van Nederlandsch-Indië 86(3/4):327–536, 1930a.
———. "De To Wana op Oost-Celebes." Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en
Volkenkunde 70(4):397–626, 1930b.
———. "Banggaische studiën." Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde
72(1):13–102, 1932a.
———. "De pilogot der Banggaiers en hun priesters." Mensch en Maatschappij 8:114–135,
1932b.
———. De West-Toradjas op Midden-Celebes. 4 vols [plus one of plates]. (Verhandelingen
der Koninklijke Nederlandsche Akademie van Wetenschappen, Afdeeling Letterkunde, nieuwe
reeks, 40.) Amsterdam: Noord-Hollandsche Uitgevers-Maatschappij, 1938a.
———. "De fluit in Indonesië." Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde
78(2):248–270, 1938b.
Kruyt, J. "De Moriërs van Tinompo (Oostelijk Midden-Celebes)." Bijdragen tot de Taal-, Land-
en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië 80(1):33–217, 1924.
Kunst, Jaap. "Music and dance in the outer provinces" [1946], pp. 173–204 in: Jaap Kunst.
Indonesian music and dance: traditional music and its interaction with the West. Amsterdam:
Royal Tropical Institute, 1994.
Lathief, Halilintar and Niniek Sumiani HL. Pakkarena: sebuah bentuk tari tradisi Makassar.
[Jakarta]: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Jakarta, Direktorat Jenderal
Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995.
Lundström-Burghoorn, Wil. Minahasa civilization: a tradition of change. Göteborg: Acta
Universitatis Gothoburgensis, 1981.
Mangemba, H. D. "Alam 'pakarena.'" Budaya 6(11/12):508–510, 1957.
Naskah dan penuntun tentang kesenian daerah Sulawesi Tenggara dan pementasan kesenian
dan duta seni. [Kendari]: Proyek Pusat Pengembangan Kebudayaan Sulawesi Tenggara,
1978/1979.
Noorduyn, J. A critical survey on the languages of Sulawesi. (KITLV Bibliographical Series,
18.) Leiden: KITLV Press, 1991.
Pelras, Christian. The Bugis. Oxford: Blackwell, 1996.
Rappoport, Dana. Indonésie, Toraja: funérailles et fêtes de fécondité. Album commentary for
CD, Le Chant du Monde CNR 274 1004. 1995.
Rössler, Martin. "Striving for modesty: fundamentals of the religion and social organization of
the Makassarese Patuntung." Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 146(2/3):289–324,
1990. Concerns the people called Kajang in volumes 15 and 18.
14
Schwarz, J. Alb. T. Tontemboansche teksten: vertaling. Leiden: E. J. Brill, 1907.
Sumaryo L.E. "Beberapa catatan mengenai musik dan tari di daerah Bugis (Sulawesi
Selatan)." Musika 2:71–95, 1973.
This is a slightly abridged version of Bab I (pp.5-36) of [Sumarjo L.E., et al.], Beberapa
catatan musik dan tari daerah Bugis dan Nias. [Jakarta]: Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan Nasional, Direktorat Jendral Kebudayaan, 1972. Note the
two spellings of the author's name, and the disappearance of et al.
Sutton, R. Anderson. Local performance and local power: music, dance, and the politics of
culture in lowland South Sulawesi. Forthcoming.
Wilken, N. P. "Bijdragen tot de kennis van de zeden en gewoonten der Alfoeren in de
Minahassa [2]," Mededeelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap 7:289–
332, 1863.
Abdullah, Amin. "Eksperimentasi pembuatan lagu daerah 'Ledo', sebuah lagu hiburan bergaya
dan berbahasa Kaili, Sulawesi Tengah," pp. 247-289 in: Laporan pelaksanaan temu ilmiah dan
festival MSPI '94, tanggal 1–3 Desember 1994 di Maumere, Flores. Surakarta: Masyarakat
Seni Pertunjukan Indonesia, 1995. Concerns dero.
Acciaioli, Greg. "Culture as art: from practice to spectacle in Indonesia." Canberra
Anthropology 8(1/2):148-172, 1985. Concerns Central Sulawesi.
Aragon, Lorraine V. "Revised rituals in Central Sulawesi: the maintenance of traditional
cosmological concepts in the face of allegiance to world religion." Anthropological Forum
6(3):371–384, 1991/1992.
Bastin, John, ed. The British in West Sumatra, 1685–1825. Kuala Lumpur: University of
Malaya Press, 1965.
Brouwer, M. Melattie. 60 tahun Bala Keselamatan di Sulawesi Tengah. Bandung: Bala
Keselamatan, 1977. Concerns the history of the Salvation Army in Central Sulawesi.
Dahlan, Muniar. "Tipalayo sebagai satu karya sastra Mandar." BA thesis. Ujung Pandang:
FKSS–IKIP, 1979.
George, Kenneth M. "Felling a song with a new ax: writing and the reshaping of ritual song
performance in upland Sulawesi." Journal of American Folklore 103(407):3–23, 1990.
———. "Music-making, ritual, and gender in a Southeast Asian hill society." Ethnomusicology
37(1):1–27, Winter 1993.
———. "Lyric, history, and allegory, or the end of headhunting ritual in upland Sulawesi."
American Ethnologist 20(4):696-716, 1993.
———. Showing signs of violence: the cultural politics of a twentieth-century headhunting
ritual. Berkeley: University of California Press, 1996.

Kiem, Christian. "Minahasan festive life in the context of generational change." In: Helmut
Buchholt and Ulrich Mai, eds. Continuity, change and aspirations: social and cultural life in
Minahasa, Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1994), pp. 51–67.
15
Mangemba, H. D. "Tari 'padjaga' dari Luwu." Budaya 7(8/9):337-340, Agustus/September
1958.
———. "Musik 'ganrangbulo.'" Budaya 7(11/12):448-450, Nopember/Desember 1958.
Millar, Susan Bolyard. Bugis weddings: rituals of social location in modern Indonesia.
(Monograph 29.) Berkeley: Center for South and Southeast Asian Studies, University of
California at Berkeley, 1989.
Pelras, Christian. "Le trésor des contes bugis." In Papers from the III European colloquium on
Malay and Indonesian Studies (Naples, 2–4 June, 1981), edited by Luigi Santa Maria, Faizah
Soenoto Rivai and Antonio Sorrentino, pp. 181–194. Naples: Istituto Universitario Orientale,
Dipartimento di Studi Asiatici, 1988.
———. "Introduction à la littérature bugis." Archipel 10:239–267, 1975.
Rappoport, Dana. "Du repérage musical au travail de terrain ethnomusicologique en
Indonésie." Cahiers de musiques traditionnelles [Ateliers d'ethnomusicologie / Archives
internationales de musique populaire; Genève: Georg Editeur] 8:13–32, 1995b.
Schefold, Reimar. "Introduction," pp. 1–6 in: Reimar Schefold, ed. Minahasa past and present:
tradition and transition in an outer island region of Indonesia. (CNWS Publications, 28.)
Leiden: Research School CNWS [Centre of Non-Western Studies], 1995.
Schouten, M.J.C. Leadership and social mobility in a Southeast Asian society: Minahasa,
1677–1983. (Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde,
179.) Leiden: KITLV Press, 1998.
Sutton, R. Anderson. "Performing arts and cultural politics in South Sulawesi." Bijdragen tot de
Taal-, Land- en Volkenkunde 151(4):672–699, 1995.
Volkman, Toby Alice. "Great performances: Toraja cultural identity in the 1970s." American
Ethnologist 11(1):152–169, 1984.
———. Feasts of honor: ritual and change in the Toraja highlands. Urbana: University of
Illinois Press, 1985.
———. "Visions and revisions: Toraja culture and the tourist gaze." American Ethnologist
17:91–110, 1990.
Wolterbeek Muller, J. "De manpurengké-feesten in de Minahassa." Internationales Archive für
Ethnographie 17:222–224, 1905.