Philip Yampolsky
Sesuai dengan definisinya, sastra lisan hanya terdapat dalam pertunjukan.Kalau sastra lisan sampai kepenggemarnya lewat tulisan dan bukan pertunjukan, bukan lisan lagi. Jadi pertunjukan boleh dikatakan medium sastra lisan. Tentu saja beberapa kesenian lain juga mengandalkan medium pertunjukan kita semua tahu bahwa suatu pertunjukan bisa melibatkan banyak jenis kesenian sekaligus nyanyian, musik instrumental, tari, teater, puisi lisan, cerita lisan, kostum, lukisan, seni ukir, desain ruang, dan desain cahaya. Lagi pula, suatu suatu pertunjukan sering menyangkut unsur yang bukan kesenian. Kadang-kadang ada unsur ritual. Selalu ada unsur manusia, yaitu pengikut serta : pemain, penonton, dan sponsor. Dan suatu pertunjukan selalu berlangsung dalam konteks sosial yang merupakan sumber dan landasan maksud dan makna.
Artinya sebuah pertunjukan untuk pengikut-sertanya tumbuh dari interaksi semua unsur dalam pertunjukan tersebut-semua jenis kesenian, pengikut-serLa sendiri, dan konteks sosial. Cerita matinya menak Jinggo, raja Blambangan, mempunyai arti yang sangat berbeda untuk penonton dari kalangan Istana mangkunegara dan penonton dari bekas kerajaan Blambangan. Tari bedhaya yang ditarikan di dalam keraton oleh para putri ningrat untuk penonton yang juga ningrat, ain artinya dengan bedhaya yang ditarikan di STSI Surakarta oleh mahasiswi, dan lain lagi kalau ditarikan untuk turis. Jaipongan yang diadakan diterminal bus pada jam larut malam lain sekali artinya dengan jaipongan yang dipentaskan oleh anak-anak SMP untuk merayakan Hari Kartini. Akhir-akhir ini, beberapa peneliti teater Eropa mulai mendalami topik ini - ternyata dalam abad ketujuhbelas, waktu Shakespeare dan
Moliere rnasih hidup. Karya-karyanya dipentaskan kadang-kadang untuk penonton bangsawan dan kadang-kadang untuk penonton rakyat. Sekarang timbul hipotesa bahwa satu karya ditafsirkan dengan cara yang bertentangan oleh kedua golongan ini.
Pendeknya, pertunjukan merupakan kejadian yang multi dimensional, terdiri dari unsur bermacam-macam, dan semua unsur saling berkaitan. Tetapi penelitian atau pengamatan ilmiah jarang sekali melihat pertunjukan sebagai sesuatu yang utuh. Kita sebagai peneliti mengalami tekanan yang kuat agar pertunjukan dipersempit, dibagi-bagi, dicincang.
Tekanan ini sebenarnya terasa dalam dua bentuk :
(1) Kita ditekan supaya tidak melihat pertunjukan sebagai keutuhan, melainkan hanya memperhatikan unsur yang merupakan pokok bidang kita. Seorang musikolog mencopot musiknya dari pertunjukan ; seorang peneliti sastra mencabut puisi astau cerita; seorang peneliti tari memetik tariannya saja.
Tekanan ini berasal dari pendidikan disipliner kita. Seorang musikolog misalnya harus belajar bertahun-tahun untuk menguasai teknik dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk analisa musik. Dari mana dia akan dapat waktu dan tenaga mempelajari juga teknik dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk analisa sastra atau tari atau etnografi?
Lalu, oleh karena kita tidak belajar disiplin-disiplin lain, pembicaraan atau discourse disipliner kita tidak melibatkan disiplin-disiplin lain itu. Kalau kita menulis artikel atau makalah, yang diharapkan ofeh kolega-kolega kita adalah informasi yang sesuai dengan disiplin kita. Kalau saya mampu memberikan makalah ilmiah tentang struktur dalam puisi nyanyian Bugis, misalnya, kolega-kolega saya dari bidang musikologi tidak akan mau dengar. "Bagaimana dengan tangga nada?" mereka akan teriak, sambil melemparkan batu. "lnstrumennya apa? Berapa lebar resonator?"
2) Tekanan untuk mencincang pertunjukan terasa dalam bentuk kedua sebagai tekanan supaya pertunjukan diwujudkan kembali sebagai text. Tekanan ini berasal dari kenyataan bahwa medium kita untuk menampilkan dan menyebarkan informasi bukan pertunjukan tetapi tulisan. menurunkan pertunjukan sebagai text hampir selalu berarti bahwa kita meniadakan atau menyepelekan unsur-unsur dalam pertunjukan yang sulit atau repot atau mahal dimasukkan dalam bentuk tertulis misalnya, logat atau lafal si pencerita atau penyanyi atau warna suara vokal dan instrumen ; atau detail-detail kecil ritem dan intonasi. Hal hal semacam ini sangat sulit dilaporkan dengan kata-kata, bahkan sering tidak ada istilah-istilah yang bisa digunakan. Jadi pada umumnya kita mengabaikannya. Dan sekarang kita begitu terbiasa dengan cara itu bahwa hal-hal seperti logat atau warna suara sering dianggap tidak penting. Tapi apa benar? Untuk penonton yang tahu, logat si pencerita langsung menyampaikan informasi mengenai konteks sosial dan konteks geografis pertunjukan yang ditonton. Dan warna suara dan detail-detail tadi barangkali merupakan kunci yang paling khas untuk membedakan seorang pemain musik dari pemain yang lain.
Memaksa pertunjukan menjadi text juga biasanya menutup pengertian kita terhadap satu unsur yang sangat pentirig, yaitu kelonggaran dan kebebasan yang dialami oleh seniman dalam pertunjukannya. Kelonggaran ini yang menimbul variasi atau perbedaan antara dua pertunjukan atau ulangan dari kaya yang sama.Tetapi kebiasaan menulis dan membaca -dan tentu juga pertimbangan bisnis.
Penerbitan menuntut satu text, satu versi, bukan banyak versi dari setiap kalimat. Jadi perbedaan yang mungkin saja ditemukan antara dua ulangan dalam satu pertunjukan, atau dua pertunjukan dari dua daerah – semua variasi ini biasanya didamkan saja, supaya dihasilkan satu text yang gampang dibaca. Tetapi sebenarnya kita tidak dapat mengerti kedudukan satu text tanpa mengerti pilihan-pilihan yang dilakukan oleh si pencipta-jalan-jalan yang sengaja tidak ditempuh, gaya-gaya yang khas dan jarang terdapat pada pencipta yang lain.
Penutupan pengertian kita terhadap variasi adalah salah satu dari beberapa pengorbanan atau kerugian yang diakibatkan oleh tekanan-tekanan untuk mencincang pertunjukan dan menurunkan pertunjukan menjadi text. Antara pengorbanan lain adalah pengertian kita mengenai interpretasi, atau katakanlah garapan (istilah yang saya pinjam dari karawitan Jawa). Pada kesenian yang sekarang berpedoman text tertulis, seperti teater Barat atau musik klasik Barat, garapan adalah satu-satunya ruang gerak untuk tradisi lisan. Text teater Barat atau komposisi rnusik Barat sudah baku dan tidak bisa diubah. Meskipun demikian, tugas pemain adalah menambahkan sesuatu yang unik - bukan dialog baru atau lagu baru, tetapi pengertian baru terhadap dialog atau lagu yang sudah ada. Pengertian baru ini yang disebut interpretasi atau garapan, dan justru karena di luar text yang baku, biasanya tidak masuk ke dalam diskusi ilmiah mengenai text. Tetapi garapanlah yang membedakan dua realisasi dari satu text, dan bisa dikatakan bahwa garapanlah yang menghidupkan text yang baku.
Ada pengorbanan lain lagi. Kalau kita membatasi perhatian kita kepada satu unsur saja dalam pertunjukan - yaitu unsur keahlian kita ― kita menutup diri terhadap keterangan yang mungkin diperoleh dari unsur-unsur lain, walaupun kadang-kadang keterangan tersebut bisa membantu kita untuk lebih mengerti unsur yang menjadi pusat perhatian kita, Saya akan memberikan tiga contoh di sini, diambil dari jenis-jenis sastra nyanyian. Dalam setiap contoh, pengertian kita mengenai sastranya ditingkatkan kalau kita juga memperhatikan musiknya.
Contoh pertama diambil dari Dendang Pauah, suatu kesenian yang terdapat di daerah Minangkabau. Pertunjukan Dendang Pauah berlangsung semalam suntuk.
Cerita dibawakan dalam pantun. Selama pertunjukannya, ada lima lagu vokal yang terdengar ; dari kelima itu, empat diiringi oleh sebuah suling. Si penyanyi atau tukang dendang memilih lagu vokal sesuai dengan isi cerita pada saat itu. Untuk menyambut, tamu dan tuan rumah, dipakai lagu Pakok Anam. Untuk menceritakan hal-hal yang netral dari segi emosi, seperti latar belakang cerita, dipakai lagu Pakok Limo. Semua cerita Dendang Pauah akhirnya menjadi sedih, dan lagu-lagu vokal untuk menceritakan kejadian yang mengharukan bertingkat tiga. Ada Malereng, dimana lagu suling gembira tetapi cerita dan lagu vokal sedih. Ada Malereng lbo (ibo berarti iba), dengan lagu dan cerita yang dua-duanya sedih. Dan ada Lambok malarn, yang menyayat hati tak kepalang. Segitu sedihnya Lambok Malarn sehingga suling terdiam dan vokal berjalan sendiri. Si penyanyi boleh rnemilih antara lagu-lagu vokal tersebut, dan boleh berpindah dari lagu ke lagu sesuai dengan jalan cerita.
Lagu-lagu vokal ini berfungsi struktural seperti adegan dalam teater atau bab dalam novel, menandai tahap atau pembagian dalam cerita. Lagi pu!a, lagu-lagu vokal mengutarakan dan juga menguatkan emosi yang terkandung dalam cerita. Terutama kalau penyanyi berpindah dari lagu yang diiringi suling ke lagu vokal sendiri, Lambok Malam, para penonton bisa hanyut dalam kesedihan, (REKAMAN: Malereng, terus Lambok Malam).
Jadi, kalau kita akan membuat transkripsi text Dendang Pauah tentu saja kita akan mencatat setiap kali lagu vokal berganti, bukan? Tetapi dalam scbuah transkripsi Dendang Pauah yang akhir-akhir ini dibukukan, tidak ada tanda pergantian iagu. Text mengalir, tanpa pembagian, sepanjang dua ratus halaman, Bukannya penyunting tidak sadar akan lagu-lagu vokal: disebut secara singkat datam sebuah catatan kaki. Tetapi
rupanya, karena terfokus ketat pada komponen sastra penyunting menganggap musiknya tidak penting.
Contoh lagi, sekarang dari cerita Makassar yang juga dibawakan dengan nyanyian, ada dua macam: Sinrillik, yang diiring: geso-geso (sebuah lut gesek mirip rebab), dan cerita-cerita yang diiringi kecaping (sebuah lut petik). Dalam puisi klasik Makassar ada suatu bentuk syair dengan empat baris; bentuk ini disebut Kelong. Dalam kelong, baris pertama dan kedua masing-masing terdiri dari delapan suku kata, baris ketiga, lima suku kata; dan baris keempat, delapan suku kata. Delapan delapan lima delapan. Tetapi dalam kedua jenis cerita nyanyian ini, Sinrilik dan cerita Kecaping, bentuk kelong klasik jarang ditemukan, bahkan tidak ada bentuk bait atau stanza yang baku. Yang umum adalah puluhan atau ratusan baris, yang kebanyakan terdiri dari delapan atau lima suku kata, tetapi tanpa pola seperti delapan lima delapan. Berapa baris delapan suku kata, lalu berapa baris lima suku kata, diserahkan kepada penyanyi. Di sinilah suaranya, (CONTOH REKAMAN).
Saya baru saja mengatakan bahwa dalam cerita nyayian ini tidak ada bentuk bait yang baku. Tetapi apakah ini berarti bahwa tidak ada bentuk bait?. Jelas tidak bentuk bait atau stanza ditentukan oleh lagu nyayian. Panjangnya lagu, dan jumlah baris didalamnya, berubah terus – barangkali setiap ulangan lagu berbeda dalam hal-hal itu. Bisa panjang, bisa pendek, sesuka hati sipenyanyi, tetapi jalan lagu dalam garis besar selalu sama.
Nah, sma halnya dengan Dendang Pauah tadi, akhir-akhir ini ada text sinrilik yang dibukukan yang tidak menghiaraukan musiknya. Text itu disusun seperti prosa, dan soal bentuk puisi tidak disinggung sama sekali. Memang tidak ada pula yang tetap dan mutlak, kaya cap batik, tetapi ini tidak berarti tidak ada bentuk. Bentuknya mengikuti lagu nyanyian.
Kedua contoh tadi menggambarkan keterangan mengenai struktur puisi dan cerita yang bisa diperoleh kalau kita memperluas pandangan kita terhadap pertunjukan supaya mencakup bukan sastra saja tetapi musiknya juga. Sekarang saya ingin memberi contoh yang menggambarkan bukan keterangan mengenai struktur melainkan keterangan mengenai arti atau maksud. Contoh ini diambil sekali lagi dari Minangkabau. Slawat Dulang adalah puisi nyanyian mengenai agama islam. Dari segi musiknya, pertunjukan Salawat Dulang mengikuti suara pola yang tetap. Setiap babak atau tanggak mulai dengan tiga bagian, disebut Khotbah, Lagu Batang, dan Yamolai. Ketiganya kadang-kadang mirip dengan lagu pengajian; syairnya bertemakan agama. Kemudian penyanyi masuk satu bagian yang disebut Lagu Cancang, dimana syairnya tetap bertemakan islam, tetapi lagunya dipinjam dari musik pop atau dangdut. Mari kita dengar contoh dari bagian permulaan (REKAMAN), sekarang, contoh dari bagian lagu cancang, syairnya sebagai kita bisa dengar membicarakan Nabi Muhammad. Tetapi lagunya…saya rasa hampir semua orang disini akan tahu lagu apa ini (REKAMAN).
Jelaslah bahwa lagu ini, Hati Yang Luka, menambahkan arti yang tidak terdapat dalam syair sendiri. Persis apa artinya itu bisa diperdebatkan. Dalam hemat saya, lagu-lagu populer dalam shalawat Dulangdimaksudkan untuk mengingatkan penonton akan peranan islam sebagai agama yang akrab dengan rakyat, dan juga untuk membuat pesan dakwah lebih gampang diresap oleh pendengar. Jadi, lagu populer menguatkan dan membantu pesan.
Tetapi, dalam kurung saya ingin mencatat bahwa dalam konteks lain bisa saja terjadi bahwa lagu populer malah membawakan sikap sinis terhadap teks. Bayangkan misalnya kalau teks macapai karangan Paku Buwono keempat atau Mangkunegoro keempat, teks-teks yang sekarang dihormati sebagai kesenlan adiluhung, dinyanyikan bukan dengan lagu gong dan gendhing gamelan, tetapi dengan lagu Bujangan
Maksud saya adalah bahwa musik bisa membawa asosiasi dan konotasi seridiri dan menambahkannya kepada arti kata-kata dalam text. Kalau kita hanya memperhatikan kata-kata dan menolak segala pengaruh atau pembawaan dari musiknya, kita memiskinkan analisa dan pengertian kita.
Contoh-contoh saya sampai di sini menunjukkan bagaimana musik bisa membantu menerangkan sastra. Tetapi bukan hanya musik yang membantu sastra. Semua unsur dalam sebuah pertunjukan mampu saling menerangkan. Sekarang saya ingin memberi contoh yang tidak melibatkan sastra sama sekali. Dalam pertunjukan Mlakasar yang disebut Pakarena, terdapat kendangan yang sangat dinamis dan menggairahkan (REKAMAN). Tetapi tariannya, yang biasanya dibawakan oleh beberapa wanita muda, sangat pelan, lembut, dan halus. Ada kontras yang tegang antara musik dan tari. Menurut Halilintar Lathie, seorang ahli kesenian Sulawesi, ketegangan inilah yang merupakan arti Pakarena. Pertunjukan Pakarena menggantarkan peranan pria dan wanita dalam masyarakat Makasar. Pria ideal diibaratkan sebagai nelayan atau pelaut, dan sebagai ombak-naik turun, giat, ramai. Sedangkan wanita ideal tenang, teguh, dan tahan godaan. wanita diibaratkan sebagai angin yang secara halus dan tidak nampak mengantarkan pria ke tujuannya.
Arti Pakarena yang ganda ini tidak terlihat kalau kita memperhatikan satu unsur, tari atau musik, dan menyisihkan yang satu lagi. Memang ada konteks ilmiah dimana kita ingin menganalisa musiknya sendiri atau tarinya sendiri, tetapi kita selalu harus ingat bahwa analisa sempit dan teknis semacam itu adalah analisa yang mencincang sesuatu yang seharusnya dilihat utuh.
keempat, teks-teks yang sekarang dihormati sebagai kesenlan adiluhung, dinyanyikan bukan dengan lagu gong dan gendhing gamelan, tetapi dengan lagu Bujangan
Maksud saya adalah bahwa musik bisa membawa asosiasi dan konotasi seridiri dan menambahkannya kepada arti kata-kata dalam text. Kalau kita hanya memperhatikan kata-kata dan menolak segala pengaruh atau pembawaan dari musiknya, kita memiskinkan analisa dan pengertian kita.
Contoh-contoh saya sampai di sini menunjukkan bagaimana musik bisa membantu menerangkan sastra. Tetapi bukan hanya musik yang membantu sastra. Semua unsur dalam sebuah pertunjukan mampu saling menerangkan. Sekarang saya ingin memberi contoh yang tidak melibatkan sastra sama sekali. Dalam pertunjukan Mlakasar yang disebut Pakarena, terdapat kendangan yang sangat dinamis dan menggairahkan (REKAMAN). Tetapi tariannya, yang biasanya dibawakan oleh beberapa wanita muda, sangat pelan, lembut, dan halus. Ada kontras yang tegang antara musik dan tari. Menurut Halilintar Lathie, seorang ahli kesenian Sulawesi, ketegangan inilah yang merupakan arti Pakarena. Pertunjukan Pakarena menggantarkan peranan pria dan wanita dalam masyarakat Makasar. Pria ideal diibaratkan sebagai nelayan atau pelaut, dan sebagai ombak-naik turun, giat, ramai. Sedangkan wanita ideal tenang, teguh, dan tahan godaan. wanita diibaratkan sebagai angin yang secara halus dan tidak nampak mengantarkan pria ke tujuannya.
Anti Pakarena yang ganda ini tidak, terlihat kalau kita memperhatikan satu unsur, tari atau musik, dan menyisihkan yang satu lagi. Memang ada konteks ilmiah dimana kita ingin menganalisa musiknya sendiri atau tarinya sendiri, tetapi kita selalu harus ingat bahwa analisa sempit dan teknis semacam itu adalah analisa yang mencincang sesuatu yang seharusnya dilihat utuh.
Saya akan menutup makalah ini dengan beberapa saran yang kongkrit. Saya yakin bahwa saya bukan satu-satunya pembicara dalam seminar ini yang akan mengajukan saran-saran semacam ini.
Penelitian mengenai pertunjukan seharusnya dianggap penelitian multidisipliner. Tetapi, secara praktis, seorang peneliti tidak mungkin menguasai sendiri semua disiplin yang terlibat dalam pertunjukan.
Satu jalan keluar adalah penelitian yang dilakukan oleh tim, dimana beberapa disiplin diwakili. Kalau dana tidak cukup untuk membiayai tim di lapangan, kita harus berani, sesudah pulang dari lapangan, minta pandangan kolega-kolega dalam disiplin lain terhadap data-data kita. Seharusnya, tidak ada lagi tulisan mengenai suatu jenis sastra lisan yang merahasiakan kenyataan bahwa sastra itu dinyanyikan. Kalau, misalnya, tidak mampu menganalisa musiknya sendiri, seorang peneliti sastra bisa meminjamkan kaset-kaset rekaman dari lapangan kepada seorang penelit musik, dan minta pendapat mengenai peranan musik dalam pertunjukannya.
Tetapi si musikolog tidak akan bisa membantu kalau informasi mergenai musiknya terlalu sedikit. Sebaiknya, setiap peneliti mempunyai gambaran mengenai informasi dasar yang akan diperlukan oleh disiplin-disiplin lain. supaya data-datanya bisa diolah secara bekerjasama. Untuk itu, saya sarankan supaya peneliti-peneliti dari setiap disiplin yang terlibat dalarn pertunjukan menyiapkan scmacam pedoman untuk peneliti dari disiplin-disiplin lain. Dalam pedoman itu dirinci data-data dasar, minimal, yang harus dikumpulkan supaya hasil penelitian dari displin A bisa diolah oleh peneliti dari disiplin B. Pedoman-pedoman itu, atau diskusi dan debat yang harus dilakukan sebelum pedomannya dapat disiapkan, pantas dimuat dalam jurnal seperti Warta ATL atau jurnal MSPl.
Perlu kita sadari dan ajrkan kepada siswa-siswi kita kekurangan dan keterbatasan medium teks atau tulisan sebagai wadah informasi tentang pertunjukan. Kesadaran ini diperlukan supaya ciri-ciri yang khas dalam pertunjukan seperti variasi dan garapan – tidak selalu hilang dari l;aporan tertulis kita.
Dan akhirnya, kita harus cari jalan supaya pendidikan untuk peneliti tidak selalu terbatas satu disiplin saj. Tentunya, sebagaiman tadi saya katakan, kita tidak bisa mengharapkan bahwa setiap peneliti akan menguasai semua disaiplin. Tetapi alangkah baiknya kalau paling tidak setiap peneliti mempunyai gambaran mengenai teori dan teknik disiplin-disiplin lain yang juga terlibat dalam penelitian pertunjukan. Dengan cara-cara semacam ini, barangkali kita bisa mulai mendekati pertunjukan sebagi sesuatu yang utuh bukan sesuatu yang harus dicincang sebelum dibicarakan.