Laman

Kamis, 06 Januari 2011

Alekawa Turun ke Bumi

Dari Pertunjukan Teater Baruga Colli Pujie
(17 Nov 2005, 24 x , Komentar)

Siapa yang tak mengenal bissu, Kajang, dan Pakarena. Itu adalah tiga simbol peradaban masyarakat Sulsel yang telah terkenal di manca negara. Eksistensi mereka membuat mereka ada dan dikenal. Zaman terus bergulir, masyarakat pun turut bermetamorfosa. Lantas, mestikah budaya silam seperti itu akan tergusur oleh lajunya arus modernitas?


===============
Meskipun budaya dan kepercayaan berkembang, komunitas bissu dan Kajang, masih tetap memperlihatkan eksistensinya. Rabu malam, sekelompok seniman Makassar, kampus UNM, dan seniman tradisional (daerah), termasuk Segeri, Pangkep, Makassar, dan Kajang, Bulukumba berkolaborasi dalam pentas teater kolosal. Pertunjukan dari ketiga etnis yang berbeda itu menyatu dalam sebuah pementasan yang digelar di Baruga Colli Pujie, gedung teater terbuka UNM Makassar.
Antusiasme penonton datang dari berbagai kalangan, mulai dari Makassar hingga daerah-daerah. Menurut sang sutradara, Dr Halilintar Latif MPd, pertunjukan yang tanpa latihan itu merupakan gabungan karya besar manusia, seperti kebudayaan bissu dan Kajang. "Kami datang dengan estetika yang berbeda, tapi ternyata indah saat digabungkan. Ada persamaan yang terkadang jarang ditemukan orang. Ritual boleh berbeda, namun tujuannya sama. Sama-sama untuk memuja leluhur," tutur Halil, sapaan sang aktor dan sutradara yang juga berperan sebagai bissu.

Kolaborasi dengan puluhan pemain tersebut menggunakan banyak properti untuk artistik panggung dan penyimbolan pesan. Setting panggung dengan menggunakan tiga latar untuk tempat bissu, salah satu bagian kebudayaan masyarakat Bugis, sebagai panggung utama.

Di tempat itu ada sesosok alekawa (dewata), posisinya yang di tengah memberi filosofi suatu masa transisi manusia. Di samping sang dewa, terdapat Lalen riwata atau jalan turunnya dewa ke bumi.

Komunitas bissu dan kepercayaannya, ada sejak awal peradaban masyarakat Sulsel. Mereka tetap mempertahankan komunitasnya dan melestarikan kebudayaannya.

Menurut Eva, salah seorang pemeran bissu yang memang bissu asli, kepercayaan bissu tidak lagi bercampur dengan ajaran agama yang mereka anut, tradisi bissu tetap berdiri sendiri, dan mereka pandang, bissu hanya sebagai kekayaan sejarah serta warisan budaya leluhurnya. Sampai saat ini katanya, para bissu banyak yang menjadi dukun di daerahnya yaitu Segeri, Kabupaten Pangkep.

Di samping panggung utama, tampak sekelompok orang yang berasal dari komunitas Kajang. Mereka membawakan tari-tarian. Dalam tarian itu menggambarkan, masyarakat yang merayakan kemenangannya. Menurut Abd Muin Dg Mille, aktor dan penabuh gendang, serta seniman asal Gowa, pertunjukan itu adalah sebuah cerita dari Tabing Suwalia, nama sebuah kampung di daerah Kajang.

Panggung pun semakin melebar. Dengan lilitan kain putih panjang, Puluhan orang berbaju hitam saling memegang lilitan kain putih itu, lalu mereka perputar mengitari sebuah pohon besar, yang ada di luar panggung utama. Dalam lingkaran orang-orang berbaju hitam, tampak beberapa lagi yang sedang berembuk dengan mengucapkan mantera-mantera dalam dialek dan bahasa tradisional Kajang. Tiba-tiba muncul dari tempat tersebut, seorang lelaki yang diusung di atas kursi, dengan memperkenalkan sebuah alat sebagai simbol kemodernan zaman.

Masih dalam pertunjukan itu, kedatangan lelaki yang diusung sebagai simbol modernitas, disambut dengan sorak ramai masyarakat. Dijelaskan Halil, masyarakat yang konon primitif, mereka pun mau menerima datangnya masa transisi, yaitu masa modern, di mana arus teknologi mengalir dengan deras.

Sebuah tontonan yang menceritakan keadaan masyarakat primitif, merespon penonton untuk terlibat sebagai pelakon. Lalu, apa alasan sang sutradara dalam pementasan yang mempertontonkan ritual dari berbagai etnis Sulsel itu, kemudian ada sekelompok orang yang beradu dengan sesamanya, beradu dengan badik? Hidup itu katanya adalah pertarungan satu dengan yang lain. Ada yang akan menang lalu ada yang kalah. Bahkan ada yang hanya jadi penonton, di luar dari gelanggang permainan. Lantas apa yang akan mereka cari dalam hidup? Itulah cuplikan dari realitas hidup masyarakat, dalam sebuah kemasan pertunjukan teater. (*)


Sumber : HAPSA MARALA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar