Laman

Kamis, 06 Januari 2011

KOMUNITAS KAJANG DI TENGAH PERGULATAN ZAMAN


Adagium teori sosial mengatakan bahwa tak satupun kelompok manusia bisa bertahan hidup dan bertahan tanpa bersentuhan dengan kelompok dan komunitas lain, maksudnya adalah sudah menjadi kodrat bagi manusia untuk selalu hidup dinamis. Fenomena ini juga dialami oleh masyarakat lokal Kajang, satu komunitas masyarakat yang berada di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Komunitas ini dikenal sebagai satu komunitas yang melepas diri dari dunia luar yang modern.

Interaksi sosial bagi komunitas lokal Kajang memang diketahui sejak dari dulu mereka mengasingkan diri dari komunitas luar. Keteguhan mereka untuk tetap mempertahankan tradisi dan falsafah hidup yang merupakan warisan dari nenek moyang mereka masih tetap mereka pertahankan sampai hari ini. Akibatnya mereka selalu distigma negatif oleh kalangan masyarakat modern sebagai komunitas yang tidak berperadaban dan tertinggal.
Kehadiran modernisasi telah membawa dampak ketidakberuntungan bagi komunitas lokal Kajang. Modernisasi telah menjadi tolak ukur dalam menilai kebudayaan masyarakat. Budaya lokal kajang dalam kaca mata modernisasi dianggap dan dinilai sebagai budaya rendah, kolot, dan rigit. akibatnya diskriminasi dan marjinalisasi mereka alami dikarenakan masyarakat lokal Kajang dinilai terisolasi dari keramaian dan hiruk-pikuk kemajuan zaman. Apa yang diistilahkan sebagai budaya rendah dan budaya tinggi yang merupakan hasil kontruksi dari modernisasi juga telah berdampak pada komunitas Tana Toa Kajang.
Hal tersebut tidak lepas dari pengaruh dan cara pandang orang Barat terhadap kebudayaan. Konsep Barat dalam melihat kebudayaan sebagai keberadaban, sementara keberadaban dihubungkan dengan modernitas, maka baginya komunitas yang beradab adalah komunitas yang maju secara modern, sementara konsep budaya Sulawesi selatan lebih mengarah pada adat-istiadat. Dalam peradaban modern adat istiadat dianggap sesuatu yang bersifat kalasik bahkan primitive sehingga cenderung untuk dijauhi, khususnya bagi kaum muda karena dianggap kontra modernisasi. (Ahyar Anwar, 2010)
Seiring dengan perjalanan waktu, sikap hidup yang selama ini di jungjung tinggi oleh komunitas adat Tana Toa Kajang tak luput dari gempuran modernisasi, sejumlah toleransi dan kompromi terhadap masyarakat luar yang modern telah mereka lakukan, interaksi antar komunitas adat dan nonadat tak bisa terelakkan lagi, hal ini terjadi ketika pranata adat istiadat dikerdilkan oleh nasionalisasi struktur pemerintah. Tak satupun wilahyah dan komunitas di Tanah Air ini bebas dari relasi dan intervensi kekuasaan pemerintah termasuk Tana Toa Kajang.
Gurita Kekuasaan dan Kapitalisasi
Dalam kacamata modernisasi, prinsip hidup masyarakat Kajang untuk tetap komitmen dalam hidup kamase-mase (keserderhanaan) dianggap tidak sejalan dengan pola hidup modernisasi (baca: pembangunan materil). Hidup kamase-mase bermula dari seorang pemimpin yang lebih dikenal dengan sebutan Ammatoa, ketika ia sudah dinobatkan sebagai pemimpin adat dan sekaligus sebagai pemimpin spiritual Tana Toa Kajang. Seorang pemimpin harus menjadi panutan masyarakat dan hidup apa adanya tanpa harus mengejar materi.
Kamase-mase merupakan salah-satu prinsip hidup yang terkandung dalam pasang ri Kajang, sebuah pesan yang sifatnya transendental dan menurut keyakinan masyarakat Tana Toa Kajang datang dari To Rie’ A’ra’na (penguasa alam semesta). Pasang ri Kajang tersebutlah yang menjadi pedoman dan prilaku hidup masyarakat Kajang dan juga didalamya mengajarkan bahwa masyarakat harus lebih bersahaja dari pada pemimpinnya. Kalau misalnya terjadi gagal panen atau musim paceklik, maka orang yang pertama merasakan lapar adalah Ammatoa. Sebaliknya, jika panen berhasil, maka para wargalah yang harus lebih dahulu dipersilahkan untuk menikmatinya, Ammatoa kemudian belakangan.
Sikap kepemimpinan yang dicontohkan oleh komunitas di daerah terpencil tersebut tentunya berbangding terbalik dengan sikap pemimpin masyarakat pada umumnya. Jangankan para pemimipin, wakil rakyat saja tidak sudi hidup jika rakyat lebih bersahaja dari pada dirinya,
Halilintar Lathief (Antropolog dari Universitas Negri Makassar) dalam menaggapi pola hidup masyarakat Kajang mengatakan bahwa “kesederhanaa hidup yang ditampakkan di Tana Toa Kajang adalah sebagai bentuk perlawanan atas kecenderungan manusia modern dalam mengejar materi dan hidup dalam surga hedonistik serta mengesampingkan aspek moral dan etika.(Halilintar Lathief, 2005)
Komentar Halilintar Lathief diatas semakin memperjelas bahwasanya pola kehidupan masyarakat kita telah tersemai dalam kehidupan modernisasi yang kapitalistik. Mencermati hidup kamase-mase untuk mengekang hawa nafsu, jujur, renda hati, tak mau merugikan orang lain dan menjaga keseimbangan alam patut diduga bahwa pengingkaran terhadap nilai-nilai tersebutlah yang menjadi penyebab utama terjadinya tindak korupsi di Negara ini.
Di Sulawesi-Selatan peran-peran construkted Negara yang berkolaborasi dengan kapitalis ini nampak dalam berbagai program kebijakan “civilisation” untuk komunitas lokal. Proses ini dilakukan terutama lewat program pendidikan dan program agama. Program ini sudah berjalan cukup lama. Komunitas lokal yang ada di beberapa tempat tersebut di modernisasi, disekolahkan dan di ajarakan tentang cara-cara beragama yang “benar” dalam lingkup agama resmi.
Di sisi lain, kapitalisme juga turut memperkeruh budaya Kajang. Kapitalisme yang selalu berorientasi untuk mencari keuntungan telah merusak tatanan alam dan tradisi yang selama ini dianggap sakral oleh komunitas Tana Toa Kajang. Kapitalisasi kebudayaan dalam bentuk wisata menjadikan upacara-upacara adat Tana Toa Kajang ikut terbawa arus dalam pola hidup modern, sehingga muncul anggapan bahwa budaya Kajang tidak lagi murni sebagai budaya lokal setempat karena telah dirasuki oleh budaya luar. kemudian budaya kajang juga telah diperjual belikan oleh orang-orang tertentu untuk kepentingan wisatawan yang berkunjung ke Tana Toa Kajang.
Hal tersebut kemudian dibantah oleh Galla Sapa yang ditugasi untuk mengurus prosesi upacara adat di Tana Toa Kajang, beliau mengatakan bahwa “kami merayakan upacara adat bukan untuk para wisatawan yang berkungjung ke Kajang, sebab upacara adat tidak bergantung pada agenda kunjungan wisata”. hal ini sejalan dengan penegasan Ammatoa bahwa kehidupan mereka bukan untuk dijual akan tetapi untuk dipahami, sesuai dengan pernyataannya bahwa “Kehidupan kami hanya butuh untuk dipahami dan dihargai, tak perlu materi sebagai imbalannya (komersialisasi)”.
Dampak dari laju modernisasi yang sarat dengan muatan kapitalisme dan telah berkolaborasi dengan kekuasaan menjadi gurita tersendiri untuk tatanan kearifan kebudayaan dan spiritual di Tana Toa Kajang. Hal tersebut semakin diperparah ketika cara pandang pemerintah terhadap budaya lokal masih terkontaminasi oleh nalar devlopmentalisme. Bagunan megah masih lebih utama ketimbang harus membangun budaya lokal serta mengorbitakan kearifan lokal yang terkandung didalamnya.
Globalisasi atau modernisasi adalah merupakan arus besar yang telah menghantam tatanan nilai-nilai kebudayaan kita. Sehingga, dalam konteks masyarakat Kajang misalanya, kearifan local yang juga merupakan kebanggaan mereka sudah hampir diambang kepunahan akibat dari proses komersialisasi budaya untuk memenuhi kebutuhan nafsu hedonis penguasa. Hilangnya karakter, serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya adalah merupakan bukti nyata bahwasanya tatanan nilai-nilai kebudayaan kita telah tergusur oleh budaya global. Hal tersebut juga berdampak pada hilangnya originalitas makna kebudayaan nusantara.
Dalam dunia global, Kebudayaan local hanya dilestarikan oleh pemerintah tapi dalam bentuk material dan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan wisatawan asing. dan dalam tatanan kehidupan tersebutlah, sehingga komunitas Kajang didekati oleh komunitas luar, khususnya kalangan wisatawan karena budaya mereka dianggap sebagai sesuatu yang unik dan menarik untuk dikomersialkan dan juga bagi kalangan pemerintah, keunikan budaya Kajang dan kehidupannya bisa menjadi sumber dan aset APBD. Inilah sekelumit gambaran hidup komunitas Kajang ditengan arus pergerakan zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar