Laman

Kamis, 06 Januari 2011

Laporan Penelitian Pengembangan Budaya Daerah Penelitian Kota Makasar

Oleh: Prof.Dr. Edi Sedyawati
R Muhammad Mulyadi
 
Penelitian di Kota Makasar dilakukan mulai tanggal 13 sampai dengan 19
November 2007. Peneliti lapangan dari PPKB adalah Prof. Dr. Edi Sedyawati
(Ketua) dan Muhammad Mulyadi S.S.,M.Hum (anggota). Penelitian juga dibantu
oleh Dr. Halilintar Lathief, dosen Antropologi di Universitas Negeri Makasar dan
ketua Lembaga Studi Etnis Nusantara Universitas Negeri Makasar. Dr. Halilintar
Lathief merupakan pakar budaya, khususnya mengenai kebudayaan Sulawesi
Selatan.
Selama penelitian lapangan, tim peneliti melakukan wawancara dan
penyebaran kusioner untuk menggali berbagai informasi yang berkaitan dengan
tema penelitian. Wawancara dilakukan dengan beberapa orang yang dianggap
mewakili suatu kelompok yang sesuai dengan permasalahan penelitian. Kelompok
yang diwakili tersebut adalah menyangkut masalah hubungan antar etnis, bahasa
dan cerita rakyat, serta makanan tradisional. Adapun informan yang diwawancara
terdiri dari beberapa kelompok, yaitu budayawan, ahli makanan, produsen
makanan, ibu rumah tangga dan remaja. Semua informan tersebut diwawancara
untuk mengetahui pandangan mereka terhadap masalah-masalah yang diteliti.
Adapun penyebaran kusioner dilakukan di dua sekolah menengah atas,
yang terdiri dari satu sekolah negeri dan satu sekolah swasta. Pertimbangannya
adalah kedua jenis sekolah tersebut mempunyai karakter yang berbeda. Terlebih
sekolah swasta yang dipilih adalah sekolah swasta yang mempunyai karakter
khusus, yaitu sekolah Katolik, dengan mayoritas siswa yang terdiri dari etnis
Tionghoa. Sementara sekolah negeri yang dipilih adalah SMU Negeri 15. sebuah
sekolah yang merupakan rintisan SMU Negeri bertaraf internasional di Makasar.
Informasi-informasi dari wawancara sangat membantu dalam meng-ungkapkan
berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tema penelitian. Untuk pembanding
2
atau melengkapi hasil wawancara digunakan buku-buku mengenai Sulawesi
Selatan dan beberapa informasi lainnya yang didapat melalui surat kabar dan
media online (internet).
Gambaran Umum Kota Makasar
Kota Makassar mempunyai posisi strategis karena berada di persimpangan
jalur lalu lintas dari arah selatan dan utara dalam propinsi di Sulawesi, dari
wilayah kawasan Barat ke wilayah kawasan Timur Indonesia dan dari wilayah
utara ke wilayah selatan Indonesia. Dengan kata lain, wilayah kota Makassar
berada koordinat 119 derajat bujur timur dan 5,8 derajat lintang selatan dengan
ketinggian yang bervariasi antara 1-25 meter dari permukaan laut. Kota Makassar
merupakan daerah pantai yang datar dengan kemiringan 0 - 5 derajat ke arah
barat, diapit dua muara sungai yakni sungai.Tallo yang bermuara di bagian utara
kota dan sungai Jeneberang yang bermuara di selatan kota. Luas wilayah kota
Makassar seluruhnya berjumlah kurang lebih 175,77 Km2 daratan dan termasuk
11 pulau di selat Makassar ditambah luas wilayah perairan kurang lebih 100 Km².
Jumlah kecamatan di kota Makassar sebanyak 14 kecamatan dan memiliki 143
kelurahan. Diantara kecamat-an tersebut, ada tujuh kecamatan yang berbatasan
dengan pantai yaitu kecamatan Tamalate, Mariso, Wajo, Ujung Tanah, Tallo,
Tamalanrea dan Biringkanaya.
Kota Makassar sendiri berdekatan dengan sejumlah kabupaten yakni
sebelah utara dengan kabupaten Pangkep, sebelah timur dengan kabupaten Maros,
sebelah selatan dengan kabupaten Gowa dan sebelah barat dengan Selat Makassar.
Dari gambaran selintas mengenai lokasi dan kondisi geografis Makassar, memberi
penjelasan bahwa secara geografis, kota Makassar memang sangat strategis dilihat
dari sisi kepentingan ekonomi maupun politik. Dari sisi ekonomi, Makassar
menjadi simpul jasa distribusi yang tentunya akan lebih efisien dibandingkan
daerah lain. Memang selama ini kebijakan makro pemerintah yang seolah-olah
menjadikan Surabaya sebagai home base pengelolaan produk-produk draft
kawasan Timur Indonesia, membuat Makassar kurang dikembangkan secara
optimal. Padahal dengan mengembangkan Makassar, otomatis akan sangat
3
berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di kawasan Timur
Indonesia dan percepatan pembangunan. Dengan demikian, dilihat dari sisi letak
dan kondisi geografis - Makassar memiliki keunggulan komparatif dibanding
wilayah lain di kawasan Timur Indonesia. Saat ini Kota Makassar dijadikan inti
pengembangan wilayah terpadu Mamminasata.
Jumlah penduduk Kota Makassar tahun 2003 tercatat sebanyak 1.160.011
jiwa. Padat ahun 2004 penduduk Kota Makasar tercatat sebanyak 1.179.023 jiwa
yang terdiri dari 582.382 laki-laki dan 596.641 perempuan. Komposisi penduduk
menurut jenis kelamin dapat ditunjukkan denganrsio jenis kelamin. Rasio jenis
kelamin Kota Makassar yaitu sekitar 97,61 persen, yang berarti setiap 100
penduduk wanita terdapa 97 penduduk laki-laki.
Penyebaran penduduk Kota Makassar menunjukkan bahwa penduduk
masih terkonsentrasi di wilayah kecamatan Tamalate, yaitu sebanyak 143.987
atau sekitar 12,21 persen dari total penduduk, disusul kecamatan Rappocini
sebanyak 136.128 jiwa (11,55 persen). Kecamatan Panakkukang sebanyak
129.240 jiwa (10,98 persen), dan yang terendah kecamatan Ujung Pandang
sebanyak 27.165 jiwa (2,30 persen).
Ditinjau dari kepadatan penduduk per km persegi, kecamatan Makassar
yang terpadat yaitu 31.408 jiwa per km persegi, disusul kecamatan Mariso
(28.724 per km persegi), kecamatan Bontoala 25.744 jiwa per km persegi).
Sedang kecamatan Biringkanaya merupakan kecamatan dengan kepadatan
penduduk terendah yaitu sekitar 2.460 jiwa per km persegi, kemudian kecamatan
Tamalanrea 2.646 jiwa per km persegi, Manggala (3.828 jiwa per km persegi),
kecamatan Ujung Tanah (7.658 jiwa per km persegi), kecamatan Panakkukang
(7.580 jiwa per km persegi). Wilayah-wilayah yang kepadatan penduduknya
masih rendah tersebut masih memungkinkan untuk pengembangan daerah
pemukiman terutama di tiga kecamatan yaitu Biringkanaya, Tamalanrea, dan
Manggala.
Penduduk menurut kelompok umur dapat menggambarkan tingkat
kelahiran dan tingkat kematian di suatu daerah. Disamping itu struktur umur
penduduk juga dapat menggambarkan angka beban tanggungan (Dependency
4
Ratio), penduduk usia tidak produktif terhadap penduduk usia produktif.
Penduduk yang tergolong usia non produktif adalah penduduk kelompok umur 0-
14 dan 65 tahun atau lebih. Sedangkan penduduk usia produktif adalah penduduk
kelompok umur 15-64 tahun.
Persentase penduduk usia dewasa (15-64 tahun) persentasenya sedikit
mengalami penurunan dari 69,05 persen tahun 2000 menjadi 68,34 persen tahun
2004. sementara penduduk usia muda (0-14 tahun) persentasenya walaupun masih
di bawah 40 persen, akan tetapi dibanding tahun 2000 meningkat dari 27,99
persen menjadi 28,18 persen tahun 2004, demikian pula untuk penduduk usia tua
(65+ tahun) meningkat dari 2,96 persen tahun 2000 menjadi 3,47 persen tahun
2004, peningkatan persentase pada penduduk usia muda ini disebabkan oleh
menurunnya penduduk produktif usia 15-64 tahun. Pada tahun 2004 diketahui
bahwa umur median penduduk Kota Makassar adalah 24,45 pertahun.
Hubungan antar Etnis
Hubungan antar etnis di Makasar nampaknya berjalan dengan harmonis.
Jalinan hubungan itu terutama direkat oleh agama Islam sebagai agama mayoritas
penduduk kota Makasar. Kesamaan agama ini telah merekatkan hubungan antara
masyarakat kota Makasar dari suku Bugis dan Makasar. Sedangkan agama
Kristen, secara khusus telah merekatkan hubungan antara masyarakat kota
Makasar dari suku Toraja dan etnis Tionghoa. Kerekatan yang berdasarkan agama
ini bukan berarti tersekatnya hubungan masyarakat oleh agama Islam dan Kristen.
Hal tersebut hanya merupakan penggambaran bahwa agama telah mencairkan
hubungan antar suku. Bagi penganut kedua agama yang berbeda, hubungan antar
masyarakat berjalan dengan normal. Pada intinya perbedaan agama tidak menjadi
penghalang dalam hubungan sosial masyarakat Kota Makasar.
Toleransi antar umat beragama pun ternyata cukup tinggi. Hal itu misalnya
terlihat dari pernyataan seorang informan yang merupakan ketua bidang Budaya
organisasi Muhammadyah, menurutnya menghadiri perayaan natal atau hadir
untuk memberikan ucapan selamat natal kepada yang merayakannya bukan suatu
5
masalah. Selama tidak ikut dalam ritual keagamaannya. Hal senada juga
dinyatakan oleh semua responden lainnya yang terdiri para remaja.
Mengenai perkawinan campur antar etnis juga bukan merupakan suatu
masalah, kecuali dua responden remaja perempuan dari etnis Tionghoa yang
menyatakan lebih memilih calon suami dari suku yang sama. Hal itu berkaitan
dengan “ketentuan” adat, bahwa perempuan Tionghoa diharuskan untuk menikah
dengan laki-laki Tionghoa juga. Nampaknya fungsi wanita sebagai penjaga
kemurnian etnis tetap dipertahankan.
Apabila perkawinan antar etnis tidak menjadi masalah, lain halnya dengan
perkawinan antar agama. Semua responden menolak perkawinan agama dengan
berbagai alasan. Seperti ketentuan ajaran agama yang dianut melarang perkawinan
berbeda agama, kemudian kekhawatiran akan kebingungan mengenai agama yang
akan dianut oleh anak-anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan beda agama.
Makasar adalah suatu kota dengan masyarakat majemuk, menurut seorang
informan kemajemukan tersebut merupakan suatu keuntungan, karena dengan
kemajemukan akan muncul inovasi-inovasi yang akan menguntungkan
masyarakat Kota Makasar. Masyarakat Makasar juga sangat terbuka terhadap
pendatang.
Bahasa Daerah dan Cerita Rakyat
Pada umumnya keluarga di kota Makasar menggunakan bahasa Indonesia
dalam percakapan mereka sehari-hari. Hal itu disebabkan oleh kemultietnisan
Makasar, penduduk yang mendiami Makasar terdiri dari etnis Makasar, Bugis,
Mandar, dan Toraja. Mereka memerlukan bahasa yang dapat dimengerti oleh
mereka semua dalam pergaulan sehari-hari, dalam hal ini bahasa Indonesia
menjadi alat komunikasi yang efektif. Selain itu penggunaan bahasa Indonesia
dianggap mempunyai gengsi atau status sosial tinggi di mata masyarakat Sulawesi
Selatan pada umumnya. Orang tua di Sulawesi Selatan, merasa bangga apabila
anak-anak mereka dalam kesehariannya bercakap-cakap dengan menggunakan
bahasa Indonesia. Meskipun para orang tua tersebut tidak dapat berbahasa
Indonesia.
6
Beberapa informan yang diwawancarai, pada umumnya menyatakan
bahwa mereka menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dalam
keluarganya. Terutama untuk keluarga yang berasal dari kawin campur, misalnya
dari perkawinan suku Bugis dan Makasar. Oleh karena perkawinan antara orang
Bugis dan orang Makasar sudah menjadi hal yang umum di kota Makasar, maka
dalam banyak keluarga digunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi
dalam keluarga. Tidak jarang anak dari keluarga perkawinan antar etnis
kehilangan kemampuan berbahasa daerah. Karena keluarga tersebut harus
menggunakan bahasa Indonesia. Akan tetapi ada pula anak yang memiliki
kemampuan berkomunikasi dengan dua bahasa daerah.
Dalam kasus etnis Tionghoa, dari tiga orang siswa SMA yang dijadikan
informan, dua di antaranya mengakui bahwa orang tuanya kadang-kadang masih
menggunakan bahasa Cina untuk bercakap-cakap dengan mereka. Meskipun
mereka mengerti ucapan orang tuanya, mereka tidak menjawabnya/menyahutnya
dengan bahasa Cina. Hal itu disebabkan mereka merasa kesulitan untuk menjawab
dalam bahasa Cina. Jadi, rata-rata mereka pasif berbahasa Cina. Meskipun di
sekolah telah diajarkan bahasa Mandarin. Hal itu dibenarkan pula oleh seorang
informan lainnya, seorang ibu beretnis Tionghoa, yang menyatakan bahwa anakanaknya
tidak dapat bercakap-cakap bahasa Cina. Meskipun mereka paham
bahasa Cina, namun kesulitan untuk mengucapkannya, sehingga ketika orang
tuanya mengajak bercakap dalam bahasa Cina mereka menjawabnya dalam
bahasa Indonesia. Hal itu juga menyebabkan orangtuanya menjadi lebih sering
berbahasa Indonesia.
Anak-anak di kota Makasar pada umumnya juga menggunakan bahasa
Indonesia dalam pergaulannya sehari-hari, terutama di sekolah. Adapun mengenai
kemampuan berbahasa daerah bagi anak-anak SMA di Makasar diperolehnya
melalui pergaulan mereka dengan lingkungannya. Baik itu di sekolah maupun di
tempat tinggalnya. Akan tetapi dalam hal ini, lingkungan tempat tinggalnya lah
yang berperan paling besar dalam menyumbangkan kemampuan berbahasa
daerah. Karena seperti telah disebutkan sebelumnya di lingkungan sekolah dan
7
juga pergaulan antar teman di sekolah lebih banyak menggunakan bahasa
Indonesia.
Mengenai penggunaan bahasa daerah yang dominan di Kota Makasar,
menurut beberapa informan, bahasa Makasar lebih sering digunakan di Kota
Makasar. Meskipun antar orang Bugis yang berbicara, mereka lebih sering
bercakap-cakap dengan bahasa Makasar. Di Makasar memang lebih banyak orang
Bugis dapat berbahasa Makasar daripada orang Makasar berbahasa Bugis. Akan
tetapi, tidak tergali lagi informasi kenapa hal itu dapat terjadi. Apakah masalah
gengsi, artinya bahasa Makasar dipandang sebagai bahasa yang mempunyai status
sosial tinggi. Atau sebagai bahasa perkotaan?
Beberapa remaja siswa sekolah menengah atas yang diwawancarai,
menyatakan bahwa mereka jarang menggunakan bahasa daerah di tempat-tempat
umum. Ada yang menyatakan malu berbahasa daerah karena menurutnya akan
dianggap aneh oleh lingkungannya. Penggunaan bahasa daerah kemungkinan
dapat digunakan di pasar, bahkan seorang informan menyatakan bahwa
penggunaan bahasa Makasar dia gunakan untuk menawar becak atau berbicara
dengan para pembantunya saja. Beberapa informan lainnya menyatakan
menggunakan bahasa daerah apabila berkomunikasi dengan orang-orang atau
saudaranya dari desa.
Sejak kecil anak-anak tidak dibudayakan berbahasa daerah. Pada
umumnya infroman, kecuali dari etnis Tionghoa, menyayangkan fenomena seperti
itu. Menurut seorang informan, pada umumnya masyarakat kelas menengah
bawah di Makasar tidak memperdulikan bahasanya, atau dengan kata lain dapat
dikatakan tidak mempunyai kebanggaan berbahasa daerah.
Selain tidak dibudayakan memakai bahasa daerah sejak kecil, faktor
lainnya yang ikut mendorong semakin jarangnya penggunaan bahasa daerah
adalah kurangnya bahan bacaan yang berbahasa daerah. Tidak ada buku-buku
bacaan umum, buku cerita misalnya, untuk anak-anak maupun remaja yang
menggunakan bahasa daerah. Kecuali buku pelajaran SD sampai SMP.
Sementara mengenai pengajaran bahasa di sekolah-sekolah pada umumnya
sebagian besar informan menyatakan tidak mendapatkan pengajaran bahasa
8
daerah di sekolahnya. Namun ada pula informan yang mendapat pelajaran bahasa
daerah pada tingkat SD dan SMP terutama yang pernah belajar di SD dan SMP
negeri. Bahkan ada juga sekolah dasar yang menggunakan bahasa daerah sebagai
bahasa pengantarnya. Untuk informan yang berasal dari etnis Tionghoa,
semuanya menyatakan tidak pernah mendapat pelajaran bahasa daerah di
sekolahnya. Mengenai pelajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah tidak didapat
informasi lebih lanjut apakah pemerintah mewajibkan pelajaran bahasa daerah
untuk seluruh sekolah di Makasar atau tidak. Namun, dari informasi di media
massa pemerintah daerah nampaknya baru akan memberlakukan pelajaran bahasa
daerah sebagai mata pelajaran wajib, sebagai muatan lokal, pada tahun 2007.
Setelah berlangsungnya Kongres Bahasa Daerah di Makasar.
Menurut seorang informan yang merupakan pelajar sekolah menengah
umum negeri menyatakan bahwa pengajaran bahasa daerah hendaknya tidak
hanya diajarkan untuk tingkat SD dan SMP saja, tetapi harus dilanjutkan sampai
dengan tingkat SMA. Pemerintah hendaknya tidak tanggung-tanggung untuk
melestarikan bahasa daerah.
Minat remaja terhadap bahasa daerah dirasakan kurang, hal itu dapat
dilihat dari kurangnya minat lulusan SMA yang memilih jurusan bahasa daerah di
perguruan tinggi dalam UMPTN, sedangkan yang memilih jurusan bahasa Inggris
ribuan jumlahnya. Di kalangan birokrat juga demikian, apabila seseorang ditanya
dan kemudian menyebutkan lulusan dari bahasa atau sastra daerah seolah-olah
tidak ada nilainya.
Mengenai kedudukan bahasa Indonesia dan bahasa daerah di Kota
Makasar, pemerintah nampaknya berupaya untuk mengembangkan kedua bahasa
tersebut. Misalnya dengan menjadikan bahasa daerah sebagai mata pelajaran
muatan lokal di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Sehingga generasi
muda kota Makasar dapat mengenal bahasa daerahnya. Pemerintah Provinsi
Sulawesi Selatan bekerjasama dengan Balai Bahasa Makassar juga telah
menggelar Kongres Bahasa-bahasa Daerah Sulsel 22-25 Juli 2007. Sedangkan
untuk penggunaan bahasa Indonesia, dapat diperhatikan mengenai papan-papan
propaganda/kampanye di beberapa ruas jalan di Kota Makasar yang
9
menganjurkan untuk mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia. “Utamakan
Penggunaan Bahasa Indonesia” demikian tulisan dalam kampanye berbahasa
Indonesia tersebut. Dengan melihat papan kampaye penggunaan bahasa Indonesia
tersebut, nampaknya bahasa Indonesia adalah bahasa yang ingin diutamakan oleh
Pemerintah Kota Makasar.
Selain fenomena penggunaan bahasa daerah dan bahasa Indonesia, di kota
Makasar juga mulai muncul fenomena di kalangan menengah atas untuk mulai
menggunakan bahasa Inggris dalam percakapan antar anggota keluarga.
Fenomena tersebut misalnya terlihat dengan berdirinya sekolah-sekolah taman
kanak-kanak dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.
Selain itu, ditambahkan pula dengan tambahan keterampilan berbahasa Mandarin.
Pada tingkat SMU, mulai juga dirintis sekolah-sekolah unggulan yang bertaraf
nasional dengan berupaya menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantarnya. Sementara bagi sekolah-sekolah dengan mayoritas siswa dari etnis
Tionghoa, seperti SMU Rajawali misalnya, pelajaran bahasa Mandarin
nampaknya mulai digalakan kembali. Hal itu terutama terjadi setelah reformasi,
ketika era pemerintahan Presiden Abdurachman Wahid.
Pada saat ini cerita rakyat yang berasal dari daerah Sulawesi Selatan
kurang banyak diketahui oleh para remaja di kota Makasar. Para orang tua mulai
jarang menceritakan cerita-cerita tersebut pada anak-anaknya. Di lain pihak ada
juga orang tua yang mempermasalahkan bahwa anak-anaknya tidak mau
mendengar cerita-cerita rakyat lagi. Pewarisan cerita rakyat di kota Makasar juga
menghadapi kendala dengan tidak adanya buku-buku cerita rakyat.
Makanan
Sulawesi Selatan kaya akan keanekaragaman kuliner, keanekaragaman kuliner
tersebut salah satunya dapat dilihat di Kota Makasar. Makanan-makanan
masyarakat Kota Makasar mencerminkan kekayaan alamnya. Misalnya pisang dan
kelapa yang banyak ditanam oleh masyarakat di Sulawesi Selatan menjadi jenis
bahan makanan yang dominan diolah dan dikonsumsi masyarakat Kota Makasar.
10
Hal itu terlihat dari yang paling sederhana seperti pisang goreng, dan olahanolahan
lainnya yang berbahan pisang seperti:
· pisang ijo yaitu pisang yang dibungkus adonan terigu dan daun pandan
hingga berwarna hijau lalu diberi saus putih dari kelapa.
· es palu butung, pisang epe (pisang bakar ditaburi gula encer {kinca}),
· barongko berupa pisang yang dilumatkan hingga seperti bubur kemudian
dicampur adonan telur lalu dibungkus dengan daun pisang.
· kalimbu (bahan-bahannya terdiri dari ubi kayu, pisang dan kelapa parut),
Biasanya disajikan dalam keadaan dingin.
· loka anjoroi yang terbuat dari pisang kepok mengkal yang sudah dimasak
kemudian dicampur dengan santan kental.
· sanggara balanda, pisang raja yang digoreng, digepengkan, diolesi
mentega dan dibubuhi gula pasir hingga meleleh.
Untuk lauk pauk masyarakat Makasar juga akrab dengan lauk pauk yang
berasal dari kekayaan alamnya. Hal ini berkaitan dengan hasil lautnya, yaitu ikan.
Melimpahnya ikan dan relatif murah harganya menjadikan ikan sebagai lauk pauk
yang favorit bagi masyarakat kota Makasar. Beberapa jenis masakan ikan adalah,
ikan bakar, juku kambu (bahan dasar ikan bandeng), langga roko (ikan kakap),
juku palumara (bandeng), pallu mara mairo (ikan teri), dan tuing-tuing (telur ikan
terbang). Selain ikan, makanan berunsur daging pun sangat kental di kota
Makasar seperti konro, sop saudara, dan coto. Penjual makanan ikan dan daging
banyak dijumpai di kota Makasar.
Perhatian pemerintah akan makanan tradisonal cukup besar, hal itu juga
dilakukan oleh kelompok-kelompok organisasi wanita seperti PKK. Selain itu,
peran mahasiswa melalui KKN, terutama yang dilakukan oleh mahasiswa dari
jurusan tata boga Universitas Negeri Makasar (UNM), dalam mendokumentasikan
dan mengembangkan makanan tradisonal cukup besar. Mengenai dokumentasi
dan pengembangan makanan tradisonal, mahasiswa dianjurkan untuk menanyakan
kepada orang-orang tua di kampung mengenai resep-resep makanan setempat. Di
UNM sendiri secara khusus mempunyai lembaga yang melakukan penelitian dan
pengembangan makanan tradisonal, lembaga tersebut adalah Pusat Penelitian
Pengembangan Makanan Tradisional. Kegiatan yang sudah dilakukannya selama
ini yaitu meninventarisai dan mendokumentasikan berbagai makanan tradisional.
11
Pengembangan makanan tradisional contohnya adalah pembuatan kue
dengan menggunakan bahan dari buah sukun yang difermentasi yang dilakukan
oleh salah seorang staf pengajar di UNM. Jadi ada pengembangan dari sisi
teknologi dan kemasan, karena selama ini buah sukun yang banyak dihasilkan di
Sulawesi Selatan hanya dimakan buahnya begitu saja (setelah digoreng). Selain
itu pengembangan makanan tradisional juga dikembangkan dengan bahan-bahan
yang selama ini dikenal sebagai bahan kue yang modern seperti keju.
Bagi kalangan muda dan anak-anak di kota Makasar, makanan barat lebih
diminati daripada makanan tradisonal, atau makanan yang biasa dimakan di
rumah. Hal itu disebabkan untuk mencari suasan baru dan ketertarikan anak-anak
muda pada kemasan dan tempat yang menarik. Dalam pesta-pesta pernikahan
maupun acara-acara adat lainnya hidangan tradisional masih mendominasi jenis
hidangan yang ditampilkan. Jenis-jenis makanan dari Barat juga mulai hadir
dalam acara-acara adat, meskipun tidak mencolok. Hal itu disebabkan oleh
kemampuan ekonomi masyarakatnya. Dengan demikian nampak juga suatu
pandangan bahwa makanan dari Barat mahal, sementara makanan tradisional
murah.
Untuk makanan sehari-hari di rumah, beberapa informan menyatakan
sering menikmati makanan dari daerah lain. Para ibu-ibu di suatu lingkungan
tertentu sering bertukar resep makanan dari daerah lain dan mencobanya di
rumah.
Melalui pengamatan sepintas, terlihat bahwa rumah makan Padang jarang
dijumpai di Makasar. Artinya, tidak sebanyak dijumpai di pulau Jawa atau di
kota-kota besar di Indonesia lainnya. Kemungkinan hal itu disebabkan oleh terlalu
banyaknya makanan khas lokal di Makasar. Sementara menurut seorang informan
hal itu disebabkan pandangan bahwa makanan padang di rumah makan Padang
kurang segar, karena sudah berkali-kali dipanaskan selama beberapa hari.
Sementara masyarakat Makasar menyukai makanan yang segar (fresh). Pengaruh
makanan dari luar yang mulai dirasakan kehadirannya di jalan-jalan di kota
Makasar adalah berdirinya rumah makan-rumah makan bernuansa Jawa Timur.
Rumah makan tersebut biasanya menyajikan ikan yang diolah dengan cara Jawa
12
Timur. Rumah makan tersebut biasanya dikenal dengan rumah makan Sari Laut.
Perkembang rumah makan tersebut sudah dirasakan sejak lebih dari lima tahun
terakhir.
Pada umumnya mayoritas informan menyatakan bahwa Makanan daerah
tidak akan punah, karena sehari-hari anak-anak di rumah juga tetap makanmakanan
daerah.
13
Daftar Sumber
Wawancara
Anastasia Melisa Tanzil, Ketua Osis SMU Rajawali, siswa kelas III IPS. Usia 17
tahun. Wawancara tanggal 27 November 2007.
Andi Abdullah Syam, Seniman. Usia 52 tahun. Wawancara tanggal 25 November
2007.
Andi Mariyam Makkasau, ibu rumah tangga. Usia 42 tahun. Wawancara tanggal
29 November 2007.
Derry Mangkona, Prof. Dr. Pengajar Jurusan Boga Universitas Negeri Makasar
dan Ketua Pusat Penelitian dan Pengembangan Makanan Tradisonal
Universitas Negeri Makasar. Wawancara tanggal 25 November 2007.
Haslinda, Ketua Pramuka SMU Negeri 15, siswa kelas III. Usia 17 tahun.
Wawancara tanggal 26 November 2007.
Indrawati Vera, ibu rumah tangga. Usia 22 tahun. Wawancara tanggal 28
November 2007.
James Wijaya, Siswa SMU Rajawali kelas III IPA. Usia 17 tahun. Wawancara
tanggal 27 November 2007.
Musafir, Dr. Dekan Fakultas Ushuludin Universitas Negeri Makasar dan Kedua
Bidang Budaya. Usia 48 tahun. Wawancara tanggal 25 November 2007.
Rachmat Noer, Ketua OSIS SMU Negeri 15, siswa kelas III. Usia 17 tahun.
Wawancara tanggal 26 November 2007.
Sindy, Siswi SMU Rajawali. Usia 15 tahun, kelas II IPS. Wawancara tanggal 27
November 2007.
Bacaan
Myala, M Fahmi. Pembauran: China Makasar, Selayang Pandang. Kompas 10
September 2007. hal 40.
Setyahadi, Anung. Santap: Makanan raja-raja ala Mandar. Kompas 9 September
2007. hal 21.
Sujatmin, Hatta. 30% Bahasa Daerah Dinyatakan Punah. Seputar Indonesia 23 juli
2007. hal 3
14

1 komentar: