Laman

Kamis, 06 Januari 2011

Jadilah Komunitas Pemaaf!


(10 May 2006, 526 x , Komentar)
Pelaku Diduga Sakit Jiwa, PRT Dianiaya Meninggal

Makassar-- Ketegangan akibat isu SARA (suku, agama, ras, antargolongan) yang terjadi di Makassar kemarin, mengundang keprihatinan anggota DPR RI asal Sulsel. DPR menyatakan, kejadian itu mestinya tak terjadi lagi di zaman modern seperti saat ini.
Pasalnya, selain merusak citra Indonesia dan Makassar di mata internasional, kejadian itu juga menghambat masuknya investor ke Sulsel, khususnya di Makassar. Padahal, saat ini Makassar sangat butuh campur tangan investor untuk membangun kota. "Yang jelas, kita sangat menyesali mengapa kejadian seperti ini terjadi lagi. Ini merugikan masyarakat Sulsel sendiri," tegas anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR RI, Andi Rahmat, di Senayan Jakarta, Selasa 9 Mei.

Pendapat senada juga dilontarkan anggota DPR RI asal Sulsel lainnya, seperti; Tamsil Linrung (FPKS), Abdul Hadi Djamal, Andi Yuliani Paris (Fraksi Partai Amanat Nasional), Malkan Amin (Fraksi Partai Golkar), Jacobus Camarlo Mayongpadang (PDIP), Yunus Yosfiah (PPP), serta Diah Defawati Ande (PBR).

Para wakil rakyat ini menegaskan, masyarakat Sulsel mestinya mampu menjadi komunitas pemaaf sesuai latar belakang budayanya. Apalagi, masyarakat Sulsel dikenal sebagai penganut agama yang taat.

"Kalau ada masalah kan, lebih baik mempercayakan kepada penegak hukum. Sebab kalau diselesaikan dengan serba kekerasan, artinya kita kembali lagi ke zaman batu," ujar Andi Rahmat.

Wakil rakyat berharap, aparat keamanan mampu meminimalisir terjadinya gesekan antarmasyarakat sehingga peristiwa kerusuhan 1997 tak terulang lagi. Selain itu, juga perlu meningkatkan kerukunan bermasyarakat dan beragama.

Tak hanya itu, wakil rakyat juga berharap agar dari kejadian tersebut seluruh pihak perlu mawas diri. Selain itu, seluruh pihak harus mengintrospeksi diri.

Sementara itu, penganiayaan yang berbuntut kematian salah seorang pembantu rumah tangga (PRT) asal Sinjai, membuat Makassar cukup tegang. Suasana di sejumlah wilayah di pusat kota Makassar hingga malam tadi, masih tampak sepi. Konsentrasi massa sejak siang sampai malam tadi masih terpusat di Jl Gunung Latimojong dan perempatan Jl Gunung Bawakaraeng-Bulusaraung. Selain berkumpul, warga juga sempat membakar ban dan menutup jalan. Namun, aparat gabungan dari TNI-Polri tetap siaga mengantisipasi kemungkinan terjadinya aksi yang tidak diinginkan.

Situasi yang memanas di Makassar dipicu kematian Hasniati alias Ati (20), salah satu PRT. Korban meninggal karena diduga dianiaya majikannya, Wandy Tandiawan (24) warga Jl Gunung Latimojong, A No.8, Kelurahan Gaddong, Kecamatan Bontoala, Kamis 4 Mei. Namun, pada Sabtu 6 Mei lalu, Hasniati ditemukan telah menjadi mayat di kamarnya. Sedangkan Nurbaya (18), sepupu korban,-- yang juga menderita luka, selamat.

Kasus Latimojong itu terungkap saat Nurbaya mengisahkan kasus yang dialaminya bersama Hasniati. Ia 'bernyanyi' hingga kemudian kasus penganiayaan itu tersebar. Padahal, awalnya pelaku berupaya menutupi penyebab meninggalnya Hasniati.

Wandy berdalih bahwa korban meninggal dunia akibat jatuh di tangga rumahnya. Cerita bohong itu disampaikan Wandy saat membawa jenazah korban kepada keluarganya di Desa Draccing, Kecamatan Sinjai Selatan, Sinjai, Ahad, lalu.

Keluarga korban curiga kalau Hasniati meninggal secara tidak wajar. Kecurigaan itu kemudian dilaporkan ke Polres Sinjai. Satreskrim Polwiltabes Makassar lantas melakukan penyelidikan atas meninggalnya pembantu rumah tangga di rumah majikannya itu.

Gayung pun bersambut. Selasa, 9 Mei sekitar pukul 03.00 Wita kemarin, Wandi berhasil diamankan petugas di rumahnya. Selain itu, petugas yang dipimpin Kasat Reskrim, AKBP Bambang Pristiwanto juga menyita beberapa benda yang akan ditelusuri dalam pengungkapan kasus itu.

Barang-barang yang disita, itu telah dikirim ke Laboratorium Forensik untuk diteliti, kemarin. Lalu, bagaimana kronologis peristiwa ini? Keterangan yang dihimpun menyebutkan, penganiayaan terhadap Hasniati dan Nurbaya, terjadi sekitar pukul 09.30 Wita, Kamis 4 Mei, lalu. Penganiayaan itu bermula dari kekesalan Wandy, anak majikannya terhadap kedua pembantunya yang disebut-sebut memecahkan kaca.

Tak ayal, Wandy kesal dan langsung menganiaya kedua pembantunya. Hingga kemudian, kedua pembantu itu menderita luka.

Dua hari kemudian, tepatnya Sabtu 6 Mei, Hasniati meninggal di kamar, tepatnya di lantai tiga rumah majikannya. Wanita malang, ini menderita luka robek di kepala. Luka itu diduga kena benda tumpul.

Baik peristiwa penganiayaan maupun saat meninggalnya korban, sama sekali tidak tercium oleh petugas kepolisian. Demikian pula para tetangga, tidak mengetahui jika di rumah itu ada pembantu yang meninggal dunia.

Itu karena pintu rumah toko berlantai tiga itu, jarang terbuka. "Paling pintu terbuka kalau ada mobil yang mau keluar-masuk," kata seorang tetangga korban yang enggan disebut identitasnya.

Di rumah itu, menurut warga, memang dihuni empat orang. Penghuni itu, masing-masing; Wandy, dan orang tuanya, Nurhayati (66). Sedangkan dua lainnya adalah pembantunya, Hasniati dan Nurbaya. Nurhayati, ibu Wandy, sudah sakit-sakitan dan bahkan kakinya telah diamputasi akibat penyakit gula yang dideritanya.

Kelainan Jiwa
Kapolwiltabes Makassar, Kombes Polisi Drs HRM Kurniawan, didampingi Kasat Reskrim, AKBP Bambang Pristiwanto mengatakan, Wandy yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka, telah diamankan dan langsung ditahan.

"Dalam kasus ini, sudah 18 saksi kita diperiksa. Termasuk keluarga dekat tersangka. Rencananya, semua saksi 36 orang," tandas Kapolwiltabes.

Betulkah tersangka melakukan penganiayaan? Kapolwiltabes membenarkan. Dijelaskan, tersangka mengaku telah melakukan penganiayaan terhadap kedua pembantunya.

Anehnya, kata Kapolwiltabes, saat diperiksa tersangka justru terlihat santai dan beberapa kali tertawa. "Seolah tidak ada beban apa-apa," kata Kapolwiltabes heran.

Atas kenyataan itu, penyidik berkoordinasi dengan psikiater, baik dari RS Bhayangkara maupun dari Unhas untuk memeriksa kejiwaan Wandy, pria yang sempat menamatkan pendidikannya hingga SMA itu. Menurut keluarganya, sejak tersangka tamat SMA, dia jarang keluar rumah dan banyak keanehan lainnya. "Setiap harinya, kerjanya hanya menonton di rumah. Biasanya keluar kalau dia akan beribadah," terangnya.

Keanehan lainnya, kata keluarganya, belakangan ini, Wandy sering marah tanpa alasan jelas. Bukan hanya kepada pembantunya, tetapi juga kepada ibunya. Padahal, ibunya itu, sudah tua dan sakit-sakitan.

Dalam penjelasan kemarin, Kapolwiltabes meminta kepada seluruh masyarakat, termasuk keluarga korban tetap tenang dan mempercayakan penanganan kasus ini kepada Polri. "Jelasnya, sanksi yang akan diterapkan ke pelakunya sangat berat," janjinya.

Dijaga Ketat
Sejak meluasnya kasus penganiayaan yang menewaskan Hasniati, aparat gabungan Polri dan TNI kemarin, melakukan penjagaan ketat. Pengamanan superketat itu, bukan saja dilakukan di rumah tersangka, Jl Gunung Latimojong. Tapi, juga pusat-pusat perbelanjaan dan pertokoan juga diperketat.

Pemantauan Fajar kemarin, beberapa ruas jalan sempat ditutup untuk sementara karena santernya isu SARA terkait kasus ini. Tak hanya itu, di beberapa kampus yang berada dalam wilayah kerja Polresta Makassar Timur, seperti, UNM Gunung Sari, UIN Alauddin, Unismuh, dan UIT, sempat berlangsung orasi mahasiswa mengecam peristiwa meninggalnya pembantu rumah tangga akibat dianiaya majikannya.

Tak hanya itu. Beberapa mahasiswa sempat melakukan sweeping terhadap warga keturunan yang melintas di depan kampus mereka. Tapi aksi sweeping itu cepat diatasi petugas sehingga hal-hal negatif bisa terhindarkan.

Akibat ulah Wandy, warga keturunan di Makassar was-was dan ketakutan. Mereka yang tak berdosa, ikut terbawa-bawa akibat kasus itu. Terlebih lagi setelah adanya instruksi dari petugas yang mengimbau warga keturunan agar tidak keluar rumah.

Isu SARA plus aksi demo, itu mengakibatkan sebagian besar toko milik warga keturunan tutup lebih awal. Sekitar pukul 16.00 Wita kemarin, toko-toko sudah pada tutup. Termasuk di pusat penjualan emas di Jl Somba Opu, dan pusat pertokoan lainnya, seperti di Jl Gunung Latimojong, Sulawesi, Bulu Saraung, Veteran, Bandang, Tentara Pelajar, Rappocini, dan lain-lainnya.

Direktur Reserse Kriminal Polda Sulsel, Kombes Polisi Herman Hamid yang ditemui di TKP menegaskan, proses hukum kasus ini sudah berjalan. "Pelakunya juga sudah diamankan dan ditahan," ujarnya.

Untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan, hampir seluruh kekuatan Polwiltabes Makassar dan jajarannya di-beck up Polda Sulsel, diterjunkan ke lapangan. Selain itu, petugas patroli, baik patko maupun patmor, disiagakan di tempat-tempat rawan terjadinya tindak kriminalitas tersebut.

Tak Terpancing
Kasus PRT asal Sinjai, terus menuai protes dan tanggapan banyak pihak. Salah satunya, tokoh masyarakat asal Sinjai, Prof DR M Anwar Pasau MA. Menurut PR I Universitas Negeri Makasar itu bahwa konflik ini, masyarakat Makasar jangan menggeneralisasikan salah satu etnis. Ini hanya kesalahan perorangan.

Hal itu disampaikan kepada Fajar, malam tadi. Dia juga mewanti-wanti agar kasus itu tidak diperlebar sampai ke konflik SARA.

"Ini tindak kriminal perorangan, jangan libatkan etnik Tionghoa secara keseluruhan. Itukan tidak adil, dan menciptakan ketakutan jangka panjang buat mereka. Dengan begitu, tatanan sosial kita akan rusak dan tak harmonis lagi," imbaunya.

Masyarakat Makassar juga, imbuh Anwar Pasau, jangan terpancing dengan segala macam isu. Kendalikan diri dan serahkan persoalannya pada jalur hukum. ''Jangan sampai terulang lagi kasus pengganyangan etnis Tionghoa seperti tahun-tahun lalu,'' tegasnya.

Sementara itu, budayawan Dr Andi Halilintar Lathief, M.Pd menyarankan suatu resep kepada aparat keamanan dalam menangani kasus tersebut. Putra Bupati pertama Sinjai, Andi Lathief ini, mengimbau agar aparat keamanan melakukan pendekatan budaya untuk mengantisipasi meluasnya aksi-aksi yang bisa merugikan masyarakat.

Halilintar menjelaskan, karakter orang-orang perbatasan, seperti daerah asal korban, sangat cepat memuncak emosinya. Untuk itu, aparat keamanan perlu memperhatikan karakter itu. "Emosi kedaerahan mereka (orang-orang perbatasan, red) potensial menimbulkan gerakan massa," ujar Anggota Lembaga Komunikasi Lintas Etnik Sulsel (Minang, Papua, Tionghoa, Jawa, Bugis, Makassar) ini seraya berharap, kasus tersebut tidak dimasuki ranah politik.

"Melalui peristiwa ini, kiranya kita juga dapat lebih mencermati perhatian kita terhadap pekerja. Sejauhmana kita telah memberikan perlindungan kepada buruh atau pekerja. Baik di dalam negeri, maupun di luar negeri. Kita patut memberikan perlindungan permanen kepada para pekerja," jelas dosen UNM ini.

Menyikapi kasus tersebut, Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI), malam tadi melakukan rapat di Makassar. Hasil rapat itu berupa imbauan sebagaimana dikemukakan Nunding Ram kepada Fajar.

Pertama, mengimbau agar pemerintah dan aparat hukum menindak pelaku kasus tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku. Kedua, agar masyarakat tidak terpancing bersikap emosional dan anarkis. Ketiga, kiranya komponen masyarakat mengambil hikmah dari peristiwa tersebut agar penyimpangan sejenis itu tidak terulang kembali di masa datang. Keempat, segenap komponen masyarakat selalu menjaga kekompakan demi terciptanya kesatuan dan persatuan bangsa.

Di tempat terpisah, sejumlah kalangan, antara lain; tokoh masyarakat, mahasiswa, tokoh agama, menggelar pertemuan di Mapolwiltabes, malam tadi. Ikut hadir Bupati Sinjai Rudiyanto Asapa, ahli forensik dan dokter. Dalam pertemuan itu, mereka membahas cara untuk mengantisipasi aksi massa yang kemungkinan mengarah ke hal-hal negatif.
Sumber : (yun-ars-p21-sms)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar