Laman

Kamis, 06 Januari 2011

MUHAMMADIYAH DI ANTARA PRO DAN KONTRA SENI LOKAL

Di bawah ini adalah memori simpanan dari http://www.psbps.org/index.php?option=com_docman&task=doc_download&gid=3&Itemid=70.
Lauching dan Bedah Buku Halaqah Tarjih dan Kalimatun Sawa, 24 Mei 2003, PSB-PS UMS


M.A. Fattah Santoso**


Disampaikan dalam acara “Lauching dan Bedah Buku Halaqah Tarjih dan Kalimatun Sawa” diselenggarakan oleh Pusat Studi Budaya & Perubahan Sosial (PSB-PS) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS),pada tanggal 24 Mei 2003 di Ruang Sidang UMS.

Judul Buku : Sinergi Agama & Budaya Lokal: Dialektika Muhammadiyah dan Seni Lokal
Editor        : M. Thoyibi, Yayah Khisbiyah, dan Abdullah Aly
Penerbit     : Kerja sama MUP UMS (Muhammadiyah University Press Universitas  Muhammadiyah Surakarta), PSB-PS UMS (Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta), dan Majelis Tarjih & PPI (Perkembangan Pemikiran Islam) PP (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah.
Tahun : Cetakan Pertama, 2003
Tebal  : xii+273 halaman

Di tengah pencitraan bahwa Muhammadiyah merupakan gerakan Islam yang anti kebudayaan (hal. 195), termasuk seni, padahal ia dapat disebut sebagai gerakan kultural dengan tulang punggungnya pendidikan (hal. 191), munculnya buku ini patut disambut gembira, paling tidak karena buku ini merupakan buku ketiga yang bertema Muhammadiyah dan Kebudayaan/Kesenian dalam kurun waktu delapan tahun terakhir. Buku pertama adalah Islam dan Kesenian (1995), disunting Jabrohim dan Saudi Berlian, dan diterbitkan kerja sama Majlis Kebudayaan Muhammadiyah, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dan Lembaga Litbang PP Muhammadiyah.
Buku kedua adalah Agama dan Pluralitas Budaya Lokal (2002), disunting Zakiyuddin Baidhawy dan Mutahharun Jinan, dan diterbitkan Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Judul resensi buku ini lebih menekankan pada subjudul buku, yaitu Dialektika Muhammadiyah dan Seni Lokal daripada judul utama buku, yaitu Sinergi Agama & Budaya Lokal, karena, bila diamati, dari 19 bab isi buku yang dikelompokkan menjadi tujuh bagian itu hanya dua bab saja yang secara eksplisi*
Resensi buku dalam rangka launching (peluncuran) dua buku, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal (2002) dan Sinergi Agama dan Budaya Lokal: Dialektika Muhammadiyah dan Seni Lokal (2003), yang diselenggarakan Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, 24 Mei 2003.**

Penggiat PSB-PS UMS dan dosen di Fakultas Agama Islam (FAI) UMS. menjelaskan sinergi agama dan budaya lokal. Dalam tulisan Komaruddin Hidayat, “Dialektika Agama dan Budaya”, sinergi itu dilukiskan dengan ‘Islamisasi budaya’ atau ‘membudayakan Islam’ (hal. 10-12), sementara dalam tulisan Asep Purnama Bahtiar, “Dialektika Agama dan Budaya: Ketegangan Kreatif untuk Merumuskan Strategi Kebudayaan Muhammadiyah”, sinergi itu dilukiskan dengan ‘agama yang berwawasan budaya’ atau ‘budaya yang bernapaskan agama’ (hal. 199-200). Ketujuh belas bab sisanya terfokus pada kajian tentang Dialektika Muhammadiyah dan Seni Lokal.

Buku ini sebenarnya merupakan laporan dari sebuah halaqah—semacam diskusi intensif dalam format campuran antara seminar, round-table discussion dan lokakarya (hal. viii) yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Bahasa dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta bekerja sama dengan Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, entah kapan dan di mana (editor lupa menjelaskan waktu dan tempat penyelenggaraan halaqah). Karena itu, salah satu cara meresensi buku ini adalah menemukan kesesuaian antara target halaqah dan isi buku. Target dari halaqah ini adalah terdiskusikannya empat topik:
(1) Pergumulan Agama dan Seni Lokal: Pengalaman Komunitas Seni;
(2) Seni, Khasanah Lokal dan Peta Budaya Nusantara;
(3) Seni Lokal Nusantara dan Konstruksi Visi Seni Muhammadiyah; dan
(4) Model Aktualisasi Seni Lokal Nusantara dalam Strategi Kebudayaan Muhammadiyah (hal. 05-06).

Memperhatikan isi buku, secara cepat melalui daftar isi, misalnya, nampak bahwa ada target halaqah,
yaitu topik kedua, yang tidak tercapai, dalam pengertian tidak ada yang menyumbangkan tulisan dan tidak didiskusikan dalam focused group discussion karena topik diskusi telah bergeser ke topik kontroversi seni budaya lokal (hal. 229-230, 232-236). Target kedua ini tidak gagal sama sekali, paling tidak karena ada dua
bab/tulisan yang dikelompokkan dalam ‘bagian tiga’ dengan judul “Kearifan dalam Khazanah Seni Lokal”. Namun ketika dibaca dua tulisan yang masuk dalam ‘bagian tiga’, yaitu tulisan Sulkhan Zainuri, “Seni dalam Perspektif Islam” (hal. 123-131), dan tulisan Syamsul Hidayat, “Kajian Hadis tentang Seni Lukis dan Patung” (hal.133-147), pembaca menjadi bingung karena dalam dua tulisan itu tidak ditemukan kearifan dalam khazanah seni lokal. Untuk cetakan kedua, judul ‘bagian ketiga’ nampaknya perlu direvisi. Kearifan dalam khazanah seni lokal tidak berarti tidak termuat, tetapi justeru dapat ditemukan pada bagian lain, ‘bagian dua’: “Pergumulan sinergi agama dan budaya lokal. Dalam tulisan Komaruddin Hidayat, “Dialektika Agama dan Budaya”, sinergi itu dilukiskan dengan ‘Islamisasi budaya’ atau ‘membudayakan Islam’ (hal. 10-12), sementara dalam tulisan Asep Purnama Bahtiar, “Dialektika Agama dan Budaya: Ketegangan Kreatif untuk Merumuskan Strategi Kebudayaan Muhammadiyah”, sinergi itu dilukiskan dengan ‘agama yang berwawasan budaya’ atau ‘budaya yang bernapaskan agama’ (hal. 199-200). Ketujuh belas bab sisanya terfokus pada kajian tentang Dialektika Muhammadiyah dan Seni Lokal.
Agama dan Seni Lokal”. Sebagai misal, seni karawitan Jawa mengandung nilai-nilai universal, yaitu nilai kemerdekaan, toleransi dan kebersamaan (hal. 43).
Kontroversi seni budaya lokal sendiri, sebagai topik penggeser, telah memetakan keragaman pemahaman yang terkait dengan hubungan agama dan seni lokal di kalangan Muhammadiyah, elit sekalipun. Sebagaimana disebut dalam ‘bagian tujuh’, epilog (hal. 251-252), terdapat tiga kelompok: konservatif, akomodatif dan radikal. Kelompok konservatif, dengan berpijak pada prinsip bahwa seluruh aspek kehidupan manusia harus didasarkan atas agama, berpandangan bahwa seni lokal layak untuk dihakimi. Kelompok akomodatif berpandangan bahwa seni lokal mempunyai hak hidup yang harus diapresiasi (diakui dan dihormati) oleh
Muhammadiyah secara proporsional dan utuh. Bila ingin mempunyai seni yang sesuai dengan ajaran Islam, Muhammadiyah harus menciptakannya sendiri tanpa harus memodifikasi produk seni yang bukan hasil karyanya. Kelompok radikal berpandangan tentang perlunya pemisahan agama dan seni dalam pengertian seni lokal tidak menjadi alat dakwah dan tidak perlu dihakimi oleh agama, di satu sisi, dan agama tidak menjustifikasi dan mengkooptasi seni lokal di sisi lain. Apa yang terjadi dalam focused group discussion (hal. 232-236) memberikan gambaran agak lain. Keragaman kontroversi seni lokal dipetakan dalam empat kelompok. Bagi kelompok pertama, seni lokal potensial menjadi ancaman bagi kemurnian ajaran Islam (versi Muhammadiyah). Bagi kelompok kedua, seni lokal dapat menjadi alat dakwah, sehingga perlu dijiwai oleh dan disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Bagi kelompok ketiga, seni lokal merupakan bagian dari pluralitas masyarakat yang keberadaannya perlu diakui dan dihormati, dan bukan merupakan alat dakwah. Dan,
bagi kelompok keempat, diperlukan tindakan nyata untuk merealisasikan sikap positif Muhammadiyah terhadap kesenian. Bila klasifikasi pertama merupakan hasil nalar induktif dari klasifikasi terakhir, maka terjadi sedikit inkonsistensi, Bila kelompok pertama tidak lain kelompok konservatif, kelompok ketiga adalah
kelompok akomodatif, maka apakah kelompok keempat dapat disebut kelompok radikal, dan di manakah tempat kelompok kedua: konservatif tidak, radikal tidak, akomodatif juga tidak?
Apapun klasifikasi yang digunakan, kontroversi seni lokal di kalangan Muhammadiyah sebagaimana direpresentasikan peserta halaqah, menunjukkan bahwa judul dari kajian buku ini tidaklah bersifat dikhotomik: pro dan kontra. Di antara kedua pandangan ekstrim itu masih terdapat pandangan(-pandangan) lain.

Karena halaqah melibatkan juga komunitas seni, baik pelaku maupun penggiat, maka ada pertanyaan menarik yaitu bagaimana kontroversi seni lokal dalam perspektif mereka. Dari tujuh nara sumber, sekurang-kurangnya dapat dipolakan empat macam pergumulan agama dengan seni lokal: (1) spiritualisasi atau islamisasi, seperti spiritualisasi seni sastra sebagaimana diamati Zawawi Imron (hal.110-112), dan islamisasi, baik subjek (pelaku seni), seperti yang dilakukan Enthus Susmono dalam pertunjukan wayang (hal. 118-120, 213), maupun objek, seperti yang dilakukan Supriyanti dalam seni tari (hal. 103-104); (2) profanisasi atau rasionalisasi, seperti profanisasi seni rakyat Pakarena sebagaimana diamati Halilintar Lathief (hal. 59), dan rasionalisasi seni musik (sufi) sebagaimana diamati Irwansyah Harahap (hal. 85); (3) simbiosis atau mutual-understanding, seperti dalam seni karawitan sebagaimana dituturkan Waridi (hal. 42-43); dan (4) pluralisasi, seperti yang dilakukan Endo Suanda dalam seni rakyat (hal. 223-224). Deskripsi tentang empat pola pergumulan agama dan seni lokal dalam perspektif komunitas seni ini, menurut hemat pengkaji, menjadi salah satu kekuatan dari buku ini. Walau merupakan kekuatan dan menjadi pengantar bagi focused group discussion, empat pola pergumulan agama dan seni lokal ini tetap tidak mampu menggoyahkan pandangan-pandangan kelompok konservatif.
Adakah kekuatan lain dari buku ini? Kekuatan lain dari buku ini terletak pada keteguhan melakukan upaya rekonstruksi visi seni Muhammadiyah dan aktualisasi  seni (lokal) dalam strategi kebudayaan Muhammadiyah di tengah-tengah variasi kontroversi seni lokal. Menurut hemat pengkaji, upaya ini masih bersifat rintisan, karena dari tiga tulisan dan dialog yang terkait dengan rekonstruksi visi seni Muhammadiyah, hanya tulisan Bustanuddin Agus, Seni Lokal Nusantara dan Visi Baru Muhammadiyah, yang secara eksplisit memberikan kontribusi pada upaya rekonstruksi visi seni Muhammadiyah. Menurutnya, visi lama Muhammadiyah tentang seni adalah visi Islam murni—dia meminjam istilah Abdul Munir Mulkhan—yang berorientasi pada fiqih yang empirik dan kalam yang rasional, sementara visi barunya adalah visi Islam integratif yang memadukan aqidah, syariah dan tasawuf.
Tasawuf diperlukan karena ia berurusan dengan rasa, dan rasa yang halus melahirkan tindakan yang mengandung aspek seni (hal. 180-183). Memasukkan tasawuf dalam visi integratif, bagi tradisi Muhammadiyah, akan mengundang perdebatan tersendiri. Sehubungan dengan itu, tawaran M. Jandra tentang visi integratif dapat dipertimbangkan. Visi integratif itu memadukan nilai tauhid, nilai akhlak dan nilai

Sehubungan dengan itu, tawaran M. Jandra tentang visi integratif dapat dipertimbangkan. Visi integratif itu memadukan nilai tauhid, nilai akhlak dan nilai estetika, sehingga seni dalam perspektif Islam mengandung tiga unsur: benar, baik dan indah (hal. 170).
Terkait dengan aktualisasi seni (lokal) dalam strategi kebudayaan Muhammadiyah, ada tawaran menarik dari Chaerul Umam, mewakili Lembaga Seni Budaya PP Muhammadiyah, seperti: (1) membangun infrastruktur apresiasi dan studi seni lokal di Perguruan Tinggi Muhammadiyah; (2) mengembangkan komunikasi dan interaksi yang optimal dengan komunitas seni lokal; (3) menjadi fasilitator dalam publikasi seni lokal; dan (4) membentuk ruang-ruang ekspresi dan apresiasi seni, baik melalui pendidikan (kurikulum), multimedia, workshop, dan festival (hal. 192-193). Strategi yang lebih komprehensif ditawarkan oleh focused group discussion.
Tawaran disampaikan dalam bentuk matriks (lima kolom, enam baris). Namun sayang, sajian matrik tidak dilakukan oleh editor karena yang ada hanya narasi (hal.244-245).
Menyusul kelemahan teknik penyajian di atas, masih ada kekeliruan atau kekurangan teknis lainnya yang dalam cetakan berikut dapat direvisi atau ditambahkan. Kekeliruan teknis yang agak mengganggu adalah kekeliruan penulisan header (judul halaman) pada halaman-halaman ganjil bagian tiga (hal. 125-147).
Header pada bagian tiga tersebut ternyata tertulis sama dengan header pada halaman-halaman ganjil bagian kedua, yaitu Pergumulan Agama dan Seni Lokal.
Seharusnya header pada halaman-halaman ganjil bagian tiga sesuai dengan judul bagian tiga (hal. 121) yang menurut kajian di muka perlu direvisi juga karena inkonsisten dengan materi bab-bab yang dicakupnya. Masalah teknis lain yang menurut hemat pengkaji dapat dipertimbangkan revisinya adalah penulisan tim
penerbit yang diformat kecil—sehingga agak sulit dibaca—pada halaman judul buku, baik halaman muka maupun halaman dalam. Adapun kekurangan teknis dari buku ini—sehingga dapat disempurnakan pada penerbitan mendatang—adalah belum adanya indeks.
Terlepas dari kekeliruan dan kekurangan yang ada, maka secara umum buku ini enak dibaca karena kekeliruan pengetikan hampir-hampir tidak dijumpai, dan sebagai laporan halaqah (seminar dan lokakarya) buku ini bersifat komprehensif, paling tidak dari perspektif proses karena ada prolog, tulisan, proses dialog, dan epilog, sementara dari segi muatan buku ini memancing rasa ingin tahu (curiosity)
karena temuannya yang bersifat eksploratif-diskoveri.


Di luar tema Dialektika Muhammadiyah dan Seni Lokal, beberapa tulisan—tanpa dirancang—telah menjadikan buku ini memiliki temuan eksplanatif-verifikatif, temuan yang menguji teori atau tesis. Melalui kajian historiografinya, Taufik Abdullah (1988) dalam buku yang disuntingnya bersama Sharon Siddique, yaitu
Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, dan diterbitkan LP3ES Jakarta, mengajukan tesis tentang ”Islam dan pembentukan tradisi”, yaitu “peranan Islam dalam pembentukan tradisi di kawasan-kawasan luar Jawa mengikuti pola integrasi”, sementara “peranan Islam dalam pembentukan tradisi di pulau Jawa lebih mengikuti pola dialog”. Dalam pola integrasi, Islam menjadi bagian intrinsik dari sistem kebudayaan secara keseluruhan, Islam dipandang sebagai landasan masyarakat budaya dan kehidupan pribadi. Islam merupakan unsur dominan, baik dalam  komunitas kognitif yang baru, maupun dalam paradigma politik. Dalam pola dialog, Islam yang mendorong perubahan sosial dan tradisi yang mendorong kontinyuitas harus menemukan lapangan bersama. Pola dialog merupakan hasil dari pertemuan dan akomodasi budaya yang berlangsung selama proses Islamisasi. Buku ini melalui tulisan Waridi, Musik Tradisi Jawa Tengah, yang menggambarkan pola simbiosis atau mutual-understanding dari pergumulan Islam dan seni lokal (hal. 43), ingin meneguhkan sebagian dari tesis Taufik Abdullah di atas bahwa “peranan Islam dalam pembentukan tradisi di pulau Jawa lebih mengikuti pola dialog”. Sementara itu, melalui tulisan Halilintar Lathief, Seni Rakyat: dari Pergumulan ke Pergumulan, yang walaupun menggambarkan pola profanisasi, seni lokal dan budaya lokal secara keseluruhan di dalam kehidupan kerajaan Gowa, disebutnya pangadakkang, tetap hidup berdampingan secara damai dengan perilaku yang dibawa agama (hal. 59-60), buku ini ingin mengemukakan pengecualian dari sebagian lain tesis Taufik Abdullah, yaitu “peranan Islam dalam pembentukan tradisi di kawasan-kawasan luar Jawa mengikuti pola integrasi” Dengan bobot temuan yang tidak saja eksploratif-diskoveri tetapi juga eksplanatif-verifikatif, buku ini layak untuk dibaca. Selamat membaca.[fs]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar