Laman

Kamis, 06 Januari 2011

DEGRADASI POSISI KELUARGA PENGEMBAN TRADISI


OLEH Halim HD
Asumsi bahwa perkembangan dan pertumbuhan ekonomi menciptakan suatu kehidupan kesenian tradisi yang kian kuat, dan mempunyai konsekuensi logis bahwa dengan hal itu maka posisi dan fungsi keluarga pengemban tradisi semakin baik posisi sosial ekonominya, nampaknya kini perlu disanggah, dan bahkan sangat perlu digugat. Rejim Orba yang meletakan dasar-dasar pembangunan dengan tekanan kepada aspek ekonomi selama 30-an tahun nampaknya hanya menciptakan segelintir orang kaya baru (OKB), dan itupun nampaknya tanpa memiliki selera yang bagus terhadap kehidupan kesenian khususnya tradisi. Marilah kita tengok wilayah kebudayaan Sulawesi Selatan, khususnya di kota Makassar.
Geografi kultural yang oleh banyak orang dianggap memiliki kaitan kuat dalam penciptaaan kaum saudagar, pedagang dan memiliki pandangan kosmopolitan akibat pengaruh Islam dan kebudayaan Melayu, dan posisi geografis pesisiran yang membuat daerah ini mempunyai interaksi kebudayaan yang sangat intensif dan mejemuk. Melalui pengaruh kebudayaan Melayu dan Islam itu, cara pandang yang terbuka dan, progresif yang membuat wilayah ini memiliki interaksi politik yang dinamis. Dengan kondisi dan latar belakang sejarah sosial seperti itu, dan dengan berbagai khasanah yang demikian kaya oleh berbagai kehidupan dan ekspresi senibudayanya, wilayah ini dianggap sebagai salah satu wilayah yang telah memberikan kontribusi yang kuat di dalam pembentukan kebudayaan nasional. Dan pembentukan melalui kebudayaan lokal, elemen etnis ini bisa kita buktikan melalui satu kasus pada tahun 1947, suatu jaman ketika Republik baru terbentuk dan sedang dalam proses pencarian identitas kebudayaan nasional. Dalam suatu kunjungan resmi ke Makassar Bung Karno meminta suatu karya tari. Seorang pemudi yang masih belia yang memiliki latar belakang kuat dalam tradisi dan pendidikan moderen, Andi Nurhani Sapada (lahir 25 Juni 1929) menciptakan “Tari Pattuddu” yang memiliki latar belakang Mandar. (R. Anderson Sutton, “Calling Back the Spirit: Music, Dance and Cultural Politics in Lowland South Sulawesi”, Oxford University Press, 2002). Dan jika kita ingat “Angin Mamiri” sebuah lagu yang popular sejak tahun 1940-an sampai awal tahun 1970-an, adalah sebuah komposisi musik yang diciptakan oleh Borra Daeng Ngirate. Pada tahun 1950-an, seorang komponis dan musisi keturunan Cina, Ho Eng Djie, sangat dikenal dan selalu diundang oleh Bung Karno untuk tampil di istana, Jakarta, dan salah satu komposisinya “Ati Raja” dianggap, disamping “Angin Mamiri”, semacam “lagu kebangsaan” oleh orang dari Sulsel, khususnya dari Makassar. Dan lagu itu pula, “Ati Raja” yang pernah diaransir untuk jenis jazz oleh grup jazz Indonesia Lima pimpinan Jack Lesmana.
Dari jaman itu pula kita menyaksikan suatu perubahan yang mendasar di dalam kehidupan kesenian tradisi yang identik dengan ritual dan kehidupan spiritual, menjadi dunia panggung hiburan, “stage entertainment”. Nasionalisme yang demikian kuat dihembuskan oleh Sukarno dan jaman memang menginginkannya membawa dunia seni tradisi dalam proses penafsiran yang intensif yang membawa pelunturan nilai-nilai ritual dan spiritual. Dan konsekuensi logis itu, juga kuat hubungannya bukan hanya dengan soal desakan politik kebudayaan kearah proses pembentukana kebudayaan nasional. Di sisi lainnya, pelunturan yang paling deras dan mengakibatkan degdradasi posisi dan fungsi kesenian tradisi beserta keluarga pengemban khasanah tradisi terjadi pada jaman rejim Orba. Seperti yang kita ketahui dan rasakan tekanan politik ekonomi dan proses moderenisasi yang tanpa arah jelas itu mengakibatkan pelunturan dan degradasi nilai-nilai yang dikandung didalam kehidupan ritual dan spiritual. Namun hal itu sebenarnya bukan hanya diakibatkan oleh rejim Orba. Jauh sebelumnya wilayah Sulsel mengalami guncangan akibat politik kebudayaan yang diterapkan oleh kekuatan agama, Muhammadiyah, yang menganggap bahwa kehidupan seni tradisi yang ada di Sulsel bersifat bid’ah, khurafat dan syirik, dan hal itu mesti disingkirkan agar kehidupan beragama menjadi murni, seperti yang diungkapkan oleh peneliti dan pengamat seni pertunjukan DR. Halilintar Lathief dalam bukunya “Cermin Perubahan Budaya Orang Makassar Dalam Pakarena” (Pusat Data Budaya – Padat Daya -, Makassar, 2004). Bahkan sampai dengan tahun 1980-an, dan juga sampai kini masih terasa, seperti diungkapkan oleh seorang mahasiswa peserta KKN UNHAS di daerah Selayar, salah satu wilayah di Sulsel yang mempunyai khasanah Pakarena dan berbagai jenis sastera lisannya. Dan beriringan dengan hal itu juga pada tahun 1960-an dan berpuncak pada tahun 1965, “Operasi Toba’” menjadi titik kulminasi dari proses pemusnahan. Begitu banyak khasanah dalam bentuk benda atau peralatan ritual dimusnahkan, dan diterapkannya larangan bagi kehidupan tradisi, terutama tradisi Bissu. Hal itu membuktikan suatu konflik politik yang demikian intens yang terjadi di wilayah Sulsel; disamping konflik politik antara daerah-pusat dan munculnya DI-TII (Darul Islam – Tentara Islam Indonesia) dengan tokoh Kahar Muzakar yang secara tegas melakukan pemberantasan terhadap kehidupan tradisi yang ada.
Pemberontakan daerah yang dapat diredam oleh pemerintahan pusat, dan tidak lama setelah itu, kekuasaan pusat yang berganti, Sukarno dijatuhkan oleh Suharto, dan proses moderenisasi dengan ideologi pembangunan yang menekankan aspek ekonomi dengan cepat berkembang, dan melahirkan para saudagar baru, kelas pedagang yang mampu dan dapat meraih posisi sosial-ekonomi dan politik. Namun, berbeda dengan jaman Sukarno yang sadar benar bahwa elemen kebudayaan etnis perlu dikembangkan walaupun kondisi sosial-ekonomi masih dalam kondisi yang ringkih, citra perlu ditegakan melalui kebudayaan nasional. Untuk itu Sukarno mengajak kalangan elite osial politik sipil maupun militer untuk terlibat dalam proses pembentukan citra melalui kehidupan kesenian tradisi. Dalam jaman inilah keterlibatan kalangan keluarga pengemban tradisi mendapatkan payung, patronase yang kuat dari elite sosial-politik, sipil maupun militer.
Suatu hal yang bisa dicatat dan membedakan antara jaman Sukarno dengan Suharto adalah terletak pada tema sentral kebudayaan: Sukarno ingin membangun citra bukan hanya dirinya yang memahami kesenian dan kehidupan kebudayaan, tapi juga jaman dan masyarakat yang digiring olehnya untuk memiliki kesadaran kepada nilai-nilai dan dengan itu dia tekankan kepada nilai nasionalisme melalui ekspresi kesenian. Sementara itu, Suharto memandang kebudayaan sekedar sebagai identitas yang lebih banyak ditekankan pada retorika sebagai “barang jualan”, dan menerapkan tema sentral pada kepariwisataan. Tema sentral itu tentu saja berkaitan kuat dengan kehidupan dan penekanan kepada bagaimana aspek ekonomi bisa berkembang. Hal itu sejalan dengan proses globalisasi yang dengan deras dimulai pada akhir tahun 1960-an, dan Indonesia adalah salah satu wilayah yang dilanda oleh globalisasi ekonomi, dan sekaligus juga globalisasi kebudayaan yang didasarkan ideologi pembangunan dan dihantarkan dan didukung oleh perkembangan tehnologi informasi-komunkasi dan sarana transportasi yang berkembang dengan pesat.
Ironi dari politik kebudayaan yang tanpa arah yang nampak dengan gamblang yang bisa kita saksikan di wilayah Sulsel dan khususnya Makassar adalah menjamurnya kalangan elite sosial-ekonomi, orang kaya baru (OKB) namun tidak memiliki kaitan yang kuat dengan kehidupan tradisi. Keluarga Andi Nurhani Sapada, Ida Yusuf Madjid, Andi Ummu Tunru, Halilintar Lathief, untuk mengambil contoh, merupakan keluarga yang terbentuk kesadaran ketradisiannya, kebudayaannya, bukan hanya bersumber dari tradisi keluarga yang sejak lama sudah ada, tapi juga berkembang ketika Sukarno memberikan ruang kehidupan, kepantasan untuk hadir dan tumbuh dan melahirkan penafsiran-penafsiran terhadap tradisi dengan cara yang intens dan kuat. Tentu bahwa hal itu bisa saja mengalami pelunturan seperti yang disinyalir oleh professor etnomusikologi universitas Wisconsin, R. Anderson Sutton maupun peneliti-dosen UNM, Halilintar Lathief. Tapi, posisi dan kondisi keluarga dan kehidupan tradisi pada jaman rejim Orba merupakan suatu kondisi yang saya anggap tahap kedua dari pelunturan dan bahkan degradasi yang kian parah: pariwisata yang secara banal, dangkal, dan tanpa kejelasan arah politik kebudayaannya sekedar memakai dan memanipulir kesenian tradisi. Seiring dengan kedangkalan dunia pariwisata, juga kondisi itu diperparah oleh tingkah laku politik kalangan elite sosial-politik: mereka begitu getolnya melakukan suatu penabalan kepada dirinya jabatan tradisi dari berbagai elemen etnis yang ada di wilayah Sulsel. Seorang gubernur atau bupati, atau walikota selalu menancapkan dirinya dengan gelar-gelar tradisi yang ada. Semuanya digunakan hanya sekedar untuk kepentingan politik praktis. Sementara itu, kehidupan yang paling riil, yang kasat mata, keluarga pengemban tradisi misalnya keluarga mpu Pakarena dari Kampili, Kecamatan Palangga, Gowa, Mak Coppong, tetap dalam kehidupan yang boleh dikatakan jauh dari sentuhan perhatian yang serius, seperti yang ditegaskan oleh penafsir tradisi dan pakar Pakarena, Ibu Andi Ummu Tunru. Kondisi itu juga dialami oleh keluarga Daeng Erang, mpu Puik-Puik, Daeng Mile di Takalar, Pak Jupri, pengelola kelompok Pakarena Bura’ne di Pangkep, keluarga Daeang Serang Dakko di Somba Opu, untuk mengambil beberapa contoh.
Keadaan itu makin diperparah dengan tingkah laku birokrasi yang korup diselingkaran pengelola lembaga kesenian pemerintah, institusi kepariwisataan yang terlalu kerap bermain kuitansi kosong, atau berpatgulipat dengan cara mendongkrak anggaran yang tercantum dalam proposal, yang sebagian besar dinikmati oleh birokrat yang kepiawaiannya hanya menonton dan bersilat lidah. Sementara itu, lembaga kesenian yang semi swasta yang dulu pernah dihandalkan, seperti Dewan Kesenian Makassar (DKM), Dewan Kesenian Sulawesi Selatan (DKSS), juga tak berdaya, sama halnya dengan BKKI (Badan Koordinasi Kesenian Indonesia) Sulsel yang kerjanya hanya meresmikan BKKI tingkat kabupaten. Kondisi dan posisinya sangat tergantung kepada tingkah laku dan psikologi-politik dan hubungan yang bersifat personal: anggaran bisa mengucur jika ada hubungan baik antara pengurus lembaga kesenian dengan pejabat yang bersangkutan. Di Makassar, orang menganggap bahwa dengan masuknya kalangan elite birokrasi kedalam lingkungan kesenian akan bisa mendongkrak kehidupan kesenian khususnya tradisi. Nampaknya hal itu tidak, minimal, kurang bisa dibuktikan. Dan bahkan ada kecenderungan manipulasi yang kuat, kembali masuk ke dalam lingkaran politik praktis yang secara dangkal menjadikan kesenian tradisi sekedar embel-embel bagi dirinya yang mendirikan berbagai yayasan, dan yang terpenting bagaimana bisa menambah isi kocek dan deposito melalui proyek yang memang dikuasainya.
Lengkaplah semua derita kehidupan tradisi yang selalu dijadikan sapi perahan, diantara kemewahan kehidupan kalangan elite sosial-politik yang senantiasa lebih bangga jika bergonta-ganti kendaraan bermotor, dan bepergian ke luar negeri dan menceritakan tentang kunjungan kesenian atau kebudayaan, dan tentu atas biaya pemerintah yang bersumber dari pajak warga dan hasil sumber daya alam bumi nusantara. Sementara itu karaoke keluarga di wilayah bisnis dengan biaya tinggi makin menjamur di hotel-hotel mewah, seperti juga elekton tunggal dengan para penyanyi yang sensual dalam berbagai acara diselingkungan kantor, ditambah dengan penyanyi dengan label “ibukota” yang honornya bisa puluhan atau bahkan seratus kali lipat sebuah kelompok kesenian tradisi yang jadi selingan acara resmi di rumah kediaman pejabat lokal.

Di antara keriuhan kehidupan hedonis kalangan elite sosial-politik perkotaan yang kini kian merasuk ke wilayah pedesaan, sering pula kita dengar keresahan, kegelisahan sejumlah kalangan yang hampir-hampir menggelegak namun tak berdaya yang menganggap bahwa wilayah kebudayaan Sulsel dan Makassar, (juga termasuk diantara Sulawesi Barat), tidak lagi memiliki rasa malu, tanggung jawab personal dan sosial, siri’. Yang terakhir ini, suatu konsep moral, garis etika kehidupan yang dahulu dijadikan sebagai pegangan, kini kian luntur, dan bahkan hilang. Dan hal itu seiring dengan kian menyusutnya nilai-nilai yang dihantarkan oleh kehidupan tradisi. Dan pada posisi itu pula, keluarga pengemban tradisi kembali ke pada asal mulanya: mereka hanya menanti, dan disitu pula kita saksikan betapa liat dan uletnya mereka diantara hantaman gelumbang perubahan. Soal yang kita hadapi, sampai kapan mereka bisa bertahan. Apakah mereka mesti menunggu “To Manurung baru”, cikal-bakal keluarga dan benih kehidupan kemasyarakatan, sejenis Ratu Adil yang akan membawa perubahan kehidupan kearah yang lebih jelas dan jernih serta memiliki komitmen dan selalu mendudukan diri ke dalam kesetaraan? Mungkin hal itu yang akan muncul, lambat laun, walau sekedar percikan lamunan, diantara ketiadaan politik dan strategi kebudayaan serta komitmen moral politik dari kalangan elite sosial-politik, yang selama ini hanya menjadi pemeras susu sapi tradisi yang memang bisa menyehatkan kocek pribadi. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar